KASIH YANG TANPA DIBATASI TEMBOK
Oleh Saumiman Saud*)
1 Korintus 14:1 Hendaklah kalian berusaha untuk mengasihi orang-orang lain. Dan berusahalah juga untuk menerima karunia-karunia yang diberikan Roh Allah, terutama sekali kesanggupan untuk menyampaikan rencana-rencana Allah kepada manusia. (BIS )
Jika dideretkan dengan angka, kira-kira tujuan hidup apa yang menjadi paling utama di dalam seluruh kehidupan anda? Ada orang mengatakan suka-cita adalah nomer satu, ada juga mengatakan kebahagiaan, yang lain mengatakan kekayaaan, pangkat, kecantikan dan sebagainya. Pertanyaannya, benarkah anda memiliki pikiran seperti itu juga? Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 14:1 Hendaklah kalian berusaha untuk mengasihi orang-orang lain. Dan berusahalah juga untuk menerima karunia-karunia yang diberikan Roh Allah, terutama sekali kesanggupan untuk menyampaikan rencana-rencana Allah kepada manusia. ( BIS ) Ayat ini mengajak kita menempatkan fokus untuk mengasihi orang lain? Karena rupanya Tuhan Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita.
Tatkala ahli Taurat dan orang Saduki terlibat diskusi dengan Tuhan Yesus , maka mereka bertanya “ Hukum manakah yang paling utama?” Maka jawab Yesus cukup tepat“Dan hukum yang kedua ialah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." (Markus 12 : 30-31) Suka-cita, kekayaan, pangkat, kecantikan, pengetahuan semua bisa hilang dan bahkan membuat seseorang menjadi sombong, tetapi “Kasih” itu tidak dapat dipraktekkan bila seseorang tidak rendah hati terlebih dahulu”. Kasih merupakan suatu pilihan dalam kehidupan kita. Anda dan saya tidak boleh merasa terpaksa mengasihi seseorang, hasilnya adalah kesia-siaan. Kehidupan ini merupakan kesempatan bagi setiap kita mempraktekkan kasih, dan kita berlaku sebagai murid yang tidak pernah menamatkan pelajaran ini. Timbul pertanyaan, sebenarnya hal apa yang menyebabkan kasih itu begitu penting?
1. Kita mengasihi, karena Allah mengasihi
1 Yohanes 4 : 9 “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita”. Sebenarnya apa dan siapa yang di inisial dengan kasih itu? 1 Yohanes 19 mencatat “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita”. Tuhan Yesus bukan hanya berkata-kata tentang kasih, tetapi Ia secara langsung mendemonstrasikan kasih itu. Ia mengasihi kita dengan menyerahkan nyawaNya di atas kayu salib, mati untuk menebus dosa umat manusia., kasih ini merupakan kasih yang tanpa pamrih.
Sebagai manusia kita begitu sulit mengasihi orang lain tanpa ada motivasi yang tersembunyi dalam diri kita. Misalnya, karena ia baik, karena ia kaya, karena ia cantik, karena ia bos kita atau karena demi keamanan diri kita sendiri dan sebagainya, hingga kita mengalami sendiri “Kasih yang tanpa Pamrih” itu. Tatkala Tsunami menghantam Aceh dan sekitar, Gempa di Jogja, Lumpur Lapindo di Jawa Timur, atau tatkala kita melihat tetangga dan orang-orang sekitar menderita karena kesulitan ekonomi; bagaimana sikap kita? Adaorang mengatakan kami telah mengumpulkan sumbangan untuk mereka? Sekali lagi kita bertanya, apakah dengan memberikan pertolongan untuk mereka menunjukkan sudha cukup menunjukkan kasih?
Terlalu sering terjadi tatkala sumbangan disalurkan, para wartawan diberbagai mediapun diundang, tujuannya bukan hati yang penuh kasih memberi, tetapi bagaimana masyarakat luas mengetahui kalau kita sedang dan pernah memberi. Itukah yang dimaksud dengan kasih itu? Kasih yang sesungguhnya di dalam diri orang percaya semestinya kasih yang tanpa pamrih (unconditional love), kasih yang karena Tuahn terlebih mengasihi kita bukan karena untuk ketenaran atau kenyamanan. Coba banding dengan 1 Yohanes4:16 Kita sendiri tahu dan percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah itu kasih. Orang yang hidupnya dikuasai oleh kasih, orang itu bersatu dengan Allah, dan Allah bersatu dengan dia. (BIS)
2. Kasih adalah pilihan dan komitmen
Kita dapat memperagakan prilaku seakan-akan sedang mengasihi seseorang, padahal kita sama sekali tidak mengasihi orang tersebut. Itu berarti dalam hal kasih mengasihi sering terjadi sandiwara. Bukankah para memain filem cinta itu semua berprilaku seperti itu? Kalau demikian keadaannya, maka kasih tersebut adalah kasih yang palsu.
Kasih itu adalah pilihan, oleh sebab itu jika kita memang sungguh-sungguh mau mengasihi maka kita pasti akan berjuang untuk itu. Ulangan 30:19-20 Sekarang kamu boleh pilih antara hidup dan mati, antara berkat TUHAN dan kutuk-Nya. Langit dan bumi saya panggil menjadi saksi atas keputusanmu. Pilihlah hidup. Cintailah TUHAN Allahmu, taatilah Dia, dan setialah kepada-Nya. Maka kamu dan keturunanmu akan hidup dan panjang umur di negeri yang dijanjikan TUHAN kepada nenek moyangmu, Abraham, Ishak dan Yakub." (BIS)
Ada orang mengatakan , “kalau hari ini engkau mengasihi saya maka saya juga akan mengasihi anda, namun kalau hari ini engkau membenci saya maka saya juga akan mebenci anda”. Kalimat ini kelihatannya adil, namun kalimat ini bukan milik orang Kristen. Seharusnya kalau orang Kristen yang berkata adalah “Kalau engkaupun benci pada saya, maka saya tetap juga mengasihi anda” Jadi saya mengasihi, tanpa melihat keadaan dan kondisi orang tersebut. Ini kasih yang diajarkan Tuhan Yesus, kasih tanpa pamrih. Kasih seperti ini yang semestinya menjadi pilihan kita.
Seorang ibu yang baru pulang dari pasar, bertanya pada putrinya yang masih duduk di kelas III SD. "Anakku yang manis Ani, apakah kamu mengasih Mama? Dengan spontan Ani menjawab, "Mengasihi! saya sangat mengasih Mama!" lalu ibunya melanjutkan pertanyaan agi, "Seberapa besar Ani mengasih Mama? Sambil melirik ke tangan ibunya yang kebetulan memegang sebuah coklat, maka Ani langsung menjawab "Saya mengasihi Mama sangat besar sekali !"
Keesokan harinya, tatkal Ibu Ani juga baru pulang dari pasar, ia melihat Ani tidur berbaring sambil bermain-main dengan boneka kesayangannya, maka ibu Ani bertanya "Bagaimana Nich, apakah kamu mengasihi Mama? Mata Ani melirik lagi ke tangan Ibunya dan berkata "Ma, mana coklatnya yang seperti kemarin ? kebetulan hari ini ibunya tidak membeli coklat.
Kasih dari anak itu adalah kasih karena di tangan ibu ada coklat, sehingga kalau coklatnya tidak ada lagi, maka kemungkinan kasih itu akan berarlih ke orang lain yang tangannya mempunyai coklat. Kasih yang tanpa pamrih adalah, walaupun tidak ada coklat di tangan, maka kasih itu tetap adanya. Kasih Tuhan kepada kita itu kekal adanya, tatkala kita belum mengasihiNya pun, ia telah mengasihi kita. Komitmen kasih yang sesungguhnya konstan, tidak akan luntur karena keadaaan sekitar.
3. Kasih itu tindakan , bukan sekadar emosi
Kasih yang murni dan sejati sesungguhnya memiliki respon posisit dan secara otomatis. Jika melihat dan mendengar orang lain sedang mengalami kesulitan , tidak peduli, bangsa, bahasa atau warna kulit; secara spontan harus di tolong. Ia juga tidak perlu merasa curiga dan mengecek latar-belakangan seseorang. Kasih yang berdasarkan emosi sifatnya sementara dan sebenatar seperti uang menguap dan habis. Tatkala orang banyak membantu dan mengasihi seseorang maka kita ikut-ikutan juga, setelah itu dilupakan begitu saja.
Memang karena ulah dan tingkah pola beberapa oknum tertentu, maka jaman sekarang dengan terpaksa kita harus mengecek kebenaran orang-orang yang mengaku membutuhkan pertolongan itu. Hingga hari ini masih segar dalam ingatan saya, kira-kira awal Agustus 1995 sebelum saya pindah dari Medan ke Surabaya ada seorang wanita kira-kira umur empat puluhan datang mengetuk pintu pastori. Waktu itu saya sedang mengepak-ngepak barang untuk persiapan pindah ke Surabaya. Wanita ini mengaku anak seorang pendeta yang bertugas di kantor pusat gereja kami. Tanpa berpikir panjang saya mempersilahkan beliau masuk ke rumah. Singkat cerita beliau bilang mobilnya kehabisan bensin, dia perlu uang dna sudah berjalan beberapa blok, lalu menemukan pastori gereja kami. Wanita ini hendak meminjam uang Rp 20.000,- untuk mengisi bensin. Karena tinggal dua hariu lagi kami mau pindah, maka saya memutuskan untuk tidka meminjamkan dia Rp 20.000,- tetapi saya pinjamkan dia Rp. 5.000,- saja.
Beberapa saat setelah wanita ini pergi, timbul kecurigaan di hati saya, sebab wanita itu tidak menyapa saya dengan “Guru Injil” atau “pendeta” seperti sebutan biasanya bagi hamba Tuhan Gereja Methodist Indonesia, tetapi dia memanggil saya “pastur”. Oleh sebab itu walau hujan rintik-rintik, saya ikuti dengan sepeda motor dari belakang, hingga dia berjalan kurang lebih 15 menit dan ia kemudian naik ke mobil umum dan pergi akhir ceritanya saya kena tipu. Kasus yang hampir sama seperti ini berlangsung beberapa kali juga tatkala pelayanan di Surabaya bahkan di Amerika ini. Nampaknya sebagai pendeta walaupun tidak kaya-raya namun lebih empuk untuk di tipu? Pengalaman pahit semacam ini agaknya sedikit mengganggu bagi seseorang bertindak mengasihi secara spontanitas. Namun jangan jerah, sebab berbahagialah orang-orang yang mengasihi, karena tindakan ini mencerminkan bagaimana kita mengashi dan taat pada perintah Tuhan. Roma 13:8 “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat”.
4. Kasih itu merupakan ketrampilan dan kita dapat mempelajarinya
Kondisi masyarakat kita yang majemuk, ditambah sejak kecil selalu diajarkan terpisah dari kemajemukan itu membuat kita agak sulit menerima orang lain itu apa adanya. Tanpa disadari kita membuat penyeleksian yang serba ketat sehingga timbul kesulitan bagi seorang pengikut Kristus mengamalkan imannya, padahal kasih Kristus berlaku untuk semua orang. Contohnya sederhana, tatkala kita hendak mempraktekkan kasih itu, yang pertama kita bertanya, siapa orang tersebut? Apakah beliau satu suku dengan saya? Apakah beliau agamanya sama dengan saya? Aliran pengajarannya bagaimana, saya berasal dari golongan gereja Injili dan dia Kharismatik, bagaimana lagi? Lihatlah, tembok itu begitu kokoh sehingga menghalangi kita mengasihi sesama. Oleh karena itu maka mau tidak mau jika kita hendak mempraktekkan kasih, maka kita perlu taktik khusus dan itu memerlukan waktu dan tekad untuk mempelajarinya. Ibaratnya orang berpacaran, mulanya saling mengenal, pelan-pelan baru muncul rasa cinta yang mendalam.
Orang bilang tak kenal maka tak sayang, namun bagi orang percaya mereka yang tidak kita kenalpun “harus” di sayang (sayang : baca dikasihi), inilah soal ujian kita yang barangkali hingga hari ini belum pernah lulus. Tidak mengapa belum lulus ujian, yang paling penting semakin hari nilai kelulusannya bertambah, artinya jika pada masa lalu nilai kita mengasihi orang asing 50 maka sekarang meningkat 60, 70 dan seterusnya. Angka berapa nilai anda saat ini? 1 Yohanes 4:21 “Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya”. 1 Yohanes 3 : 18 Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
5. Kasih itu adalah sebuah kebiasaaan
Setelah nilai ujian kita semakin hari semakin meningkat, maka secara otomatis di dalam kesehari-harian kehidupan itu kita mempraktekkan kasih sebagai kebiasaan. Nah kebiasaan yang baik seperti ini harus dipertahankan menjadi bagian dari kehidupan orang percaya setiap hari.
Lukas mencatat dalam 6:32-33 Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Jadi jika kasih telah menjadi kebiasaan hidup seseorang, maka praktekknya dapat dilakukan buat semua orang, dan itu berlangsungnya secara natural.
Beberapa tahun silam, tatkala saya masih melayani di sebuah gereja di Indonesia, waktu itu kebetulan hari pernikahan salah seorang jemaat di gereja. Sebagai tuan rumah dan pemimpin liturgi saya cukup sibuk mondar-mandir mepersiapkan acara. Lalu waktu itu sempat berpapasan jalan secara mendadak dengan seorang ibu yang kemungkinan saya tahu adalah keluarga dekat pengantin itu dan seorang majelis di sebuah gereja. Waktu itu saya tidak tahu siapa yang salah, namun saya sempat minta maaf kepadanya. Wah, rupanya ibu itu galak, dia marah-marah dan cukup keras dan kasar. Saya hanya diam sambil berlalu dari lokasi tersebut menuju ruang podium gereja, karena acaranya segera dimulai. Setelah selesai acara tibalah acara bersalaman, sang ibu tersipu malu datang pada saya dan mengatakan, maafnya tadi saya sempat marah-marah soalnya saya tidak tahu jika anda melayani di sini. Bagi saya sah saja beliau mau marah dan menjerit, tetapi poin saya adalah jika kita tidak menjadikan kasih sebagai kebiasaan hidup orang percaya, maka kekristenan kita nampaknya hambar dan tidak ada artinya.
Kasih itu semestinya tertanam sebagai akar kehidupan kita, sehingga kita bukan hanya mengasihi segolongan, tetapi semua orang dengan suka-rela. Kasih bukan sekadar memberi sepeser lembaran kusut uang kecil kepada si pengamen atau pengemis yang bercokol di lampu merah supaya mereka cepat pergi dan tidak mengganggu kita; tetapi lebih dari pada itu kasih yang sesungguhnya adalah kasih yang melampaui tembok batasan yang dibuat oleh manusia di dunia ini. Kasih yang sesungguhnya juga berarti kita berani merasakan pengalaman hidup mereka yang kita kasihi. Contohnya jika kita benar-benar ingin mengasihi dan melayani orang miskin, kita mesti coba hidup bersama-sama, bergaul bersama mereka dan merasakan suka-duka seperti mereka. Kasih yang sesungguhnya seperti kasih Tuhan Yesus, Ia menerobos warna kulit, keadaaan sosial, suku dan bangsa. Yohanes 13:34 “ Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”. Yohanes 3 :16 “Karena Allah begitu mengasihi manusia di dunia ini, sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan mendapat hidup sejati dan kekal”. (BIS) Jika Tuhan mengasihi tanpa batas, mengapa justru kita membatasi mengasihi?
*) Penulis adalah seorang pendeta lahir di Medan, saat ini bertugas di Washington State, USA. Beliau dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com
No comments:
Post a Comment