BAGIKU DIA SEGALANYAMazmur 23
Oleh: Saumiman Saud
"Bagiku Dia Segalanya". Tidak gampang melontarkan pernyataan berikut ini sebagai suatu keputusan pribadi, kalau kita belum secara khusus dipersiapkan untuk melewati hari-hari yang penuh keganasan dan penderitaan. Apalagi di saat-saat dunia kita dilanda berbagai krisis yang hebat. Sebenarnya, sejak awal tahun 1998 yang lalu di Indonesia sudah banyak orang berprediksi bahwa kita akan masuk ke dalam masa-masa sulit. Waktu itu dollar mulai gencar-gencarnya naik, harga sembako melonjak terus, unjuk rasa tak henti-hentinya, pro dan kontra pemilihan presiden sampai sang presiden yang terpilih "dilengserkan", penjarahan di sana-sini, pemerkosaan, gereja-gereja dibakar dan itu berlangsung terus, barang kali sampai hari ini di Poso dan daerah lain yang masih cukup rawan.
Oleh: Saumiman Saud
"Bagiku Dia Segalanya". Tidak gampang melontarkan pernyataan berikut ini sebagai suatu keputusan pribadi, kalau kita belum secara khusus dipersiapkan untuk melewati hari-hari yang penuh keganasan dan penderitaan. Apalagi di saat-saat dunia kita dilanda berbagai krisis yang hebat. Sebenarnya, sejak awal tahun 1998 yang lalu di Indonesia sudah banyak orang berprediksi bahwa kita akan masuk ke dalam masa-masa sulit. Waktu itu dollar mulai gencar-gencarnya naik, harga sembako melonjak terus, unjuk rasa tak henti-hentinya, pro dan kontra pemilihan presiden sampai sang presiden yang terpilih "dilengserkan", penjarahan di sana-sini, pemerkosaan, gereja-gereja dibakar dan itu berlangsung terus, barang kali sampai hari ini di Poso dan daerah lain yang masih cukup rawan.
Dunia luar sudah membayangkan kita berada dalam posisi yang sangat gawat. Lalu Tuhan seakan-akan diam. Bagaimana kita bisa mengucapkan pernyataan bahwa Bagiku Dia Segalanya? Itu mustahil bukan! Lalu dilanjutkan bom di sana sini, dari mulai gereja-gereja, masuk ke Bali, lalu yang terakhirt di Hotel Marriot Jakarta. Belum lagi kerusuhan yang tak kunjung padam, Aceh, Ambon dan sebagainya, Lalu bagaimana, ini pertanyaan kita? Sementara di Amerika sendiri juga demikian. Krisis ekonomi juga melanda, dulu kata orang uang seakan-akan begitu gampang dicari, mahasiswa-mahasiswi dari Universitas, belum tamat saja sudah dapat pekerjaan. Namun sekarang, kesulitan mulai terasa, ada ratusan bahkan ribuan orang yang dipecat dari pekerjaan, kemudian untuk mendapatkan pekerjaan kembali begitu sulit. Sebagaian orang-orang Indonesia karena ijin tinggalnya habis, sementara sudah lama menunggu pekerjaan tidak kunjung dapat, akhirnya terpaksa pulang ke Indonesia. Lalu, di Indonesia; apakah lebih gampang dapat kerja? Tidak juga. Kecuali kalau orang tuanya berlatar belakang cukup kaya, sehingga ada modal bahkan perusahaan yang siap dikelola. Bagaimana kita dapat katakan bahwa “Bagiku Dia segalanya”? Seakan-akan tidak mungkin?
Kunci rahasianya terletak pada seberapa besar nya penyerahan diri kita pada Tuhan. Semakin besar penyerahan kita kepadaNya, maka intervensiNya terhadap kita semakin besar, demikian tentu sebaliknya. Seringkali kita tidak menyerahkan diri kita secara total, ada bagian-bagian tertentu yang masih kita pertahankan, mungkin itu berupa kesombongan kita, rasa egois kita, atau dosa-dosa kita tetapi kita ingin Tuhan memperhatikan kita secara total, tidak adil bukan? Dan akibatnya kita begitu berbeban berat dan hampir putus pengharapan.
Kunci rahasianya terletak pada seberapa besar nya penyerahan diri kita pada Tuhan. Semakin besar penyerahan kita kepadaNya, maka intervensiNya terhadap kita semakin besar, demikian tentu sebaliknya. Seringkali kita tidak menyerahkan diri kita secara total, ada bagian-bagian tertentu yang masih kita pertahankan, mungkin itu berupa kesombongan kita, rasa egois kita, atau dosa-dosa kita tetapi kita ingin Tuhan memperhatikan kita secara total, tidak adil bukan? Dan akibatnya kita begitu berbeban berat dan hampir putus pengharapan.
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah tersentak ketika putri kami belajar menyanyi sebuah lagu sekolah Minggunya, isi sayairnya kira-kira begini :"Aku bahagia, bahagia, kenapa? Karena Tuhan Yesus angkat bebanku. Yesus angkat bebanku dan buang ke laut. Phiuuuuu katanya" (walaupun sebenarnya waktu itu anak kami tidak mengerti apa itu” beban” tetapi lagu itu menjadi berkat bagi saya). Jikalau memang “beban” dalam hidup ini kita serahkan pada Tuhan Yesus, maka ia akan membuangnya, terserah mau ke laut mau ke jurang bukan urusan kita. Ini iman anak-anak kita. Tetapi iman seperti seharusnya juga berlaku bagi kita semua.
Coba kita lihat Alkitab kita, khususnya Mazmur 23: 4 "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; "Kebanyakan penerjemah menyebut lembah kekelaman sebagai "lembah bayangan maut". Dan mereka sependapat bahwa sebutan itu berasal dari suatu kata yang artinya "amat gelap" atau "kelam". Disebutkan sebagai lembah 'bayangan maut" karena situasi dan kondisi geografisnya, padang pasir yang luas itu tentunya memiliki lubang-lubang yang kalau diinjak oleh kaki kita bisa terperosok ke dalam. Sedangkan di dalam lubang itu kemungkinan besar ada ular sehingga tidak jarang domba-domba yang terperosok itu mati karena digigit oleh ular berbisa. Jadi tidak heran disebut sebagai "lembah bayangan maut".
Penulis dalam hal ini Daud mengerti benar bagaimana Tuhan digambarkan sebagai gembala. Daud sendiri adalah seorang gembala, ia membela mati-matian dombanya, tatakala ada binatang buas datang, tatkala musuh menyerang, inilah tipe gembala yang baik. Daud di dalam kehidupannya tidak perlu merasa takut menghadapi masa depan, walaupun ia sadar semua itu akan penuh dengan kekelaman. Tetapi justru melalui kekelaman itu ada banyak hal yang dapat dipelajari. Salah satunya supaya sandarannya tetap teguh kepada-Nya.
Coba kita lihat Alkitab kita, khususnya Mazmur 23: 4 "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; "Kebanyakan penerjemah menyebut lembah kekelaman sebagai "lembah bayangan maut". Dan mereka sependapat bahwa sebutan itu berasal dari suatu kata yang artinya "amat gelap" atau "kelam". Disebutkan sebagai lembah 'bayangan maut" karena situasi dan kondisi geografisnya, padang pasir yang luas itu tentunya memiliki lubang-lubang yang kalau diinjak oleh kaki kita bisa terperosok ke dalam. Sedangkan di dalam lubang itu kemungkinan besar ada ular sehingga tidak jarang domba-domba yang terperosok itu mati karena digigit oleh ular berbisa. Jadi tidak heran disebut sebagai "lembah bayangan maut".
Penulis dalam hal ini Daud mengerti benar bagaimana Tuhan digambarkan sebagai gembala. Daud sendiri adalah seorang gembala, ia membela mati-matian dombanya, tatakala ada binatang buas datang, tatkala musuh menyerang, inilah tipe gembala yang baik. Daud di dalam kehidupannya tidak perlu merasa takut menghadapi masa depan, walaupun ia sadar semua itu akan penuh dengan kekelaman. Tetapi justru melalui kekelaman itu ada banyak hal yang dapat dipelajari. Salah satunya supaya sandarannya tetap teguh kepada-Nya.
Perjalanan hidup orang kristen sendiri bukan seperti jalan tol yang mulus, namun di sana sini akan ada macet, kerikil -kerikil yang semua itu merupakan bunga-bunga kehidupan kita, ibarat pelangi Begitu indah sebenarnya hidup ini. Tuhan juga tidak pernah menjanjikan kita selalu hidup senang, kadang dia memimpin kita ke arah yang susah, namun tetap di dalam pantauan-Nya., sehingga sebagai anak Tuhan tidak ada yang perlu ditakuti. Kadang kita di beri hujan, karena tidak selalu ada hari yang cerah. Namun, biarpun susah, senang, kaya, miskin,. Cerah,. Gelap, hujan, atau panas, Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anakNya. (Ibrani 13:5b).
Daud juga coba menggambarkan dirinya ibarat seekor domba. Kita tahu bahwa domba itu binatang yang paling lemah, tidak hanya itu domba juga binatang yang bodoh. Matanya agak kabur, jarak pandangnya lurus ke depan dan ia tidak bisa melihat posisi yang jarak jauh. Dengan demikian sebenarnya domba itu sering tersesat, ia tidak seperti anjing yang bisa ingat selalu untuk kembali ke rumah. Dengan mata yang kabur dan jarak pandang yang pendek, tidak jarang membuat domba itu senantiasa jatuh. Domba yang lemah ini sekarang diberi makan dan makanannya dipilih lagi yang tebaik, rumput yang hijau. Ia juga dibawa ke air yang tenang, bukan air yang keruh. Sungguh Daud mau menggambarkan keadaan yang sangat mengagumkan kita, gembalka yang baik selalu berbuat demikian.
Saya tidak mengatakan bahwa tahun ini akan lebih baik dari tahun depan, ada banyak ketakutan dan kewaswasan yang sudah menanti, sementara itu ada orang yang berpendapat bahwa setiap tahun yang baru kita akan menghadapi kesulitan yang baru. Keaadann yang baru, juga ada kesulitan yang baru. Bahkan barangkali sehabis pemilu, dan telah terpiliuh presiden dan Kabinet yang baru, kita tetap saja akan menghjadapi persoalana yang baru. Kita tidak tahu persoalan apa itu? Mungkin cukup berat? Atau juga hanya ringan-rigan saja? Yang pasti selama orang masih hidup di dunia, selalu ada yang disebut persoalan. Nah sebagai domba yang lemah kita tidak berdaya menghadapi semua ini, tetapi ini kenyataan yang harus kita hadapi. Dengan angan-angan , saya coba mengandai-andai :"Jikalau kita dapat mengetahui hari esok kita, maka sebenarnya kita akan hidup penuh dengan kekuatiran; justru lebih baik kita tidak perlu tahu apa yang akan terjadi; apalagi kita telah memiliki tempat untuk dijadikan sandaran hidup yakni Dia Tuhan Allah kita. Bersyukurlah kita semestinya kepada Tuhan karena Dia merahasiakan hari depan kita, kecuali keselamatan yang sudah pasti diberikan kepada setiap orang yang percaya.
Ada sebuah ilustrasi yang cukup menjelaskan di sini, suatu hari ada seorang bapak masuk ke sebuah restoran, lalu ia melihat di dekat kasir itu ada sebuah tulisan yang berbunyi "Hari ini Bayar Besok Gratis" Dengan hati yang senang maka bapak ini pun memesan makanan yang murah harganya, karena dia pikir hari ini dia harus membayar. Keesokan harinya, dengan berpedoman pada tulisan yang ada di kasir maka bapak tersebut datang ke restoran yang sama. Kali ini ia memesan makanan yang banyak dan mewah. Dengan lahap ia menyantap semua makanan itu.
Setelah makan, maka dengan santai bapak ini hendak melangkah meninggalkan restoran. Namun, sebelum menuju pintu gerbang, datanglah seorang petugas keamanan mencegatnya. "Maaf pak, rasanya anda belum membayar" kata satpam ini dengan lembut. "Betul pak" jawab pemuda ini dengan tenang. "Tetapi bukankah hari ini saya memperoleh makanan yang gratis?"Dengan penuh keheranan satpam itu bertanya "Mengapa anda katakan demikian? "Ya......karena kemarin saya sudah datang ke restoran ini, dan itu berarti hari ini saya memperoleh makanan yang gratis" sambil menunjuk ke arah kasir. "Oh......kata pak Satpam sekarang saya mengerti", "Tetapi tolong dulu bapak baca tulisan sekali lagi".
Dengan semangat dan suara keras maka bapak itu membaca tulisan tersebut "Hari ini bayar, besok Gratis" "Coba ulangi lagi" kata pak Satpam. "Hari ini bayar, besok gratis" "Betulkan kata pak Satpam "Hari ini anda harus bayar, walaupun anda datangnya besok, ya bayar juga. Sebab kita hidup hari ini dan besok bukan jangakauan kita. Selanjutnya Mazmur 23:4b berbunyi demikian : "gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku." Sewaktu Daud menjadi raja, tentu kita tidak sulit membayangkan pakaian apa yang dikenakannya. Sudah pasti memakai pakaian kebesaran raja, yang penuh dengan aksesoris yang berkualitas tinggi. Namun lain hal tentunya tatakala ia bekerja sebagai seorang gembala. Di sini tidak ada aksesoris yang indah-indah.
Menurut tradisi seorang gembala biasanya memakai penutup kepala semacam topi yang sederhana untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Topi itu biasanya diikatkan di bawah dagunya dengan seutas tali anyaman dari rambut unta, setebal kitra-kira satu setengah senti meter. Ia juga memakai kemeja tenunan kasar yang kemudian disertakan juga ikat pinggang kasar. Pada malam hari dan bila cuaca dingin di siang hari, ia memakai baju panas dari wol, tanpa lengan. Selain pakaian, seorang gembala juga dilengkapi dengan perlengkapan lainnya, dua diantaranya disebutkan di dalam ayat ke 4 yakni tongkat dan gada, sedangkan yang lainnya umban gembala dan pundi-pundi.
Tongkat gembala semacam galah kait yang digunakan untuk mengait leher domba yang hendak menyimpang dari kelompoknya. Tongkat itu dipakai bila domba itu akan masuk ke kandangnya. Tongkat itu dipegang melintang di atas tanah di muka pintu kandang dan tingginya cukup dapat dilalui oleh seekor domba dengan merangkak. Supaya dapat masuk ke kandang, domba-domba itu satu persatu merendahkan tubuhnya dan pelan-pelan merangkak melalui bawah tongkat. Dengan cara demikian gembala dapat memperhatikan keadaan dombanya seekor demi seekor, kalau-kalau ada yang terluka.
Gada gembala, alat ini adalah tongkat pendek, tetapi cukup berat, panjangnya kurang lebih enam puluh sentimeter. Bentuknya seperti alat pemukul bola kasti atau pentungan Satpam, dibagian yang agak besar, diolesi dengan gumpalan sejenis aspal, dan ke dalam aspal itu dilengketkan bermacam-macam batu-batu kecil dan logam, tujuannya supaya setelah kering bagian ini bisa dipergunakan untuk memukul lawan. Pada ujung tongkat ini, juga ada gulungan tali kulit yang diikatkan supaya ketika Gada ini diayunkan untuk memukul, tidak sampai terlepas. Gada dipergunakan untuk melindungi domba dari ancaman binatang buas. Seandainya domba itu dapat memahami, maka ia akan begitu tercengan-cengang melihat bagaimana seorang gembala dengan sabar dan lemah-lembut memelihara mereka.
Hari ini jikalau kita seperti Daud mau mengakui bahwa Tuhan adalah gembala, maka ketakutan dan kekuatiran itu hanya mitos. Namun itu bukan berarti bahwa orang kristen itu terlepas dari segala kesulitan dan permasalahan. Kekristenan tanpa penderitaan, bukanlah kekristenan yang diajarkan dalam Perjanjian Baru. Yesus tidak pernah mengajarkan kita bagaimana melarikan diri dari kehidupan, tetapi sebaliknya Ia mengajarkan kita bagaimana melangsungkan kehidupan dengan mengandalkan pertolongan-Nya, walaupun hal itu dianggap sulit untuk melakukannya. Seorang penulis kristen yang bernama John Stott mengatakan, "Banyak penulis kristen yang akhir-akhir ini mengakui bahwa penderitaan adalah tanda sah dari gereja yang sejati. Memang salah satu ciri dari orang percaya adalah menderita; dan ciri ini akan lebih indah lagi jikalau orang kristen itu dapat bersukacita di dalam penderitaan. "
Di dalam Roma 5:3 rasul Paulus mengatakan "Kita malah bermegah dalam kesengsaraan kita " . Kata kesengsaraan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan tribulation, sedangkan dalam bahasa latin dibaca tribulum. Di zaman kerajaan Romawi tribulum itu adalah alat penumbuk, misalnya padi; dan yang terdiri dari semacam panggung yang dibuat dari jenis kayu berat setebal beberapa sentimeter, dengan ukuran sebesar meja makan. Pada bagian bawah panggung itu diberi tiang-tiang batu api dan paku. Seekor sapi menghela tribulum itu maju dan mundur di atas hasil panen, sehingga menyisihkan butir-butir beras dari sekamnya. Jika penderitaan adalah tanda gereja yang sejati, jelaslah bahwa penderitaan juga menjadi pengalaman semua orang yang percaya kepada Allah. Kita dapat bersukacita dalam kesengsaraan kita, karena kita percaya dengan jalan itu "Allah memisahkan beras dari sekamnya."
Tatkala Yosua dan Kaleb diminta untuk bergabung dalam suatu team untuk menyelidiki kota Kanaan, mereka pulang dengan penuh suka-cita. Bukan berarti tanah Kanaan itu gampang direbut. Di tanah Kanaan banyak orang-orang tegap raksasa, yang membuat teman-teman yang bergabung di dalam team itu gentar,takut dan ciut. Mengapa Yosua dan Kaleb tidak takut, sekali lagi jawabannya adalah mereka memegang penuh firman Tuhan sebagai jaminan.
Dalam Alkitab terjemahan masa kini, salah satu ayat favorit saya yakni Ibrani 13:5 bunyinya "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau, dan aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." Dalam bahasa aslinya, kalimat ini sesungguhnya terdiri dari lima kata negatif. Untuk memberi tekanan sepenuhnya pada kalimat tersebut, seperti yang seharusnya dimaksudkan dalam Ibrani 13:5, kita terjemahkan menjadi "Aku tidak akan membiarkan engkau, tidak meninggalkan engkau, tidak, tidak pernah, bagaimanapun tidak." Atau bila kita lebih menyukainya boleh diterjemahkan demikian "Aku tidak pernah, tidak pernah, tidak pernah akan meninggalkan engkau."
Saya akan menutup firman Tuhan hari ini dengan mengutip sebuah sajak yang berjudul
Jejak Jejak KakiMargaret Fisback Powers
(Yesaya 46:4)
Suatu malam aku bermimpi,
berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama Tuhanku,
Melintas di langit gelap babak-babak hidupku,
Pada setiap babak, akau melihat dua pasang jejak kaki,
Yang sepasang milikku dan yang lain milik Tuhanku,
Ketika babak terakhir terkilas dihadapanku,
aku menengok jejak-jejak kaki di atas pasir,
dan betapa terkejutnya diriku.
Aku sadar bahwa ini terjadi saat hidupku
berada dalam keadaan yang paling menyedihkan.
Hal ini selalu menggangguku,
dan akupun bertanya kepada Tuhan tentang dilemaku ini,
"Tuhan ketika aku mengambil keputusan untuk mengikuti-Mu,
Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap-cakap denganku
di sepanjang jalan hidupku.
Namun ternyata dalam masa yang paling sulit dalam hidupku,
hanya ada sepasang jejak kaki
Aku benar-benar tidak mengerti
Mengapa ketika aku sangat memerlukan-Mu
Engkau meninggalkan aku."
Ia menjawab dengan lembut, "Anak-Ku, Aku sangat mengasihi-Mu
dan sekali-kali Aku tidak akan pernah membiarkanmu,
terutama sekali ketika pencobaan dan ujian datang,
Bila engkau melihat hanya ada sepasang jejak kaki,
itu karena engkau berada dalam gendongan-Ku"
Tongkat gembala semacam galah kait yang digunakan untuk mengait leher domba yang hendak menyimpang dari kelompoknya. Tongkat itu dipakai bila domba itu akan masuk ke kandangnya. Tongkat itu dipegang melintang di atas tanah di muka pintu kandang dan tingginya cukup dapat dilalui oleh seekor domba dengan merangkak. Supaya dapat masuk ke kandang, domba-domba itu satu persatu merendahkan tubuhnya dan pelan-pelan merangkak melalui bawah tongkat. Dengan cara demikian gembala dapat memperhatikan keadaan dombanya seekor demi seekor, kalau-kalau ada yang terluka.
Gada gembala, alat ini adalah tongkat pendek, tetapi cukup berat, panjangnya kurang lebih enam puluh sentimeter. Bentuknya seperti alat pemukul bola kasti atau pentungan Satpam, dibagian yang agak besar, diolesi dengan gumpalan sejenis aspal, dan ke dalam aspal itu dilengketkan bermacam-macam batu-batu kecil dan logam, tujuannya supaya setelah kering bagian ini bisa dipergunakan untuk memukul lawan. Pada ujung tongkat ini, juga ada gulungan tali kulit yang diikatkan supaya ketika Gada ini diayunkan untuk memukul, tidak sampai terlepas. Gada dipergunakan untuk melindungi domba dari ancaman binatang buas. Seandainya domba itu dapat memahami, maka ia akan begitu tercengan-cengang melihat bagaimana seorang gembala dengan sabar dan lemah-lembut memelihara mereka.
Hari ini jikalau kita seperti Daud mau mengakui bahwa Tuhan adalah gembala, maka ketakutan dan kekuatiran itu hanya mitos. Namun itu bukan berarti bahwa orang kristen itu terlepas dari segala kesulitan dan permasalahan. Kekristenan tanpa penderitaan, bukanlah kekristenan yang diajarkan dalam Perjanjian Baru. Yesus tidak pernah mengajarkan kita bagaimana melarikan diri dari kehidupan, tetapi sebaliknya Ia mengajarkan kita bagaimana melangsungkan kehidupan dengan mengandalkan pertolongan-Nya, walaupun hal itu dianggap sulit untuk melakukannya. Seorang penulis kristen yang bernama John Stott mengatakan, "Banyak penulis kristen yang akhir-akhir ini mengakui bahwa penderitaan adalah tanda sah dari gereja yang sejati. Memang salah satu ciri dari orang percaya adalah menderita; dan ciri ini akan lebih indah lagi jikalau orang kristen itu dapat bersukacita di dalam penderitaan. "
Di dalam Roma 5:3 rasul Paulus mengatakan "Kita malah bermegah dalam kesengsaraan kita " . Kata kesengsaraan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan tribulation, sedangkan dalam bahasa latin dibaca tribulum. Di zaman kerajaan Romawi tribulum itu adalah alat penumbuk, misalnya padi; dan yang terdiri dari semacam panggung yang dibuat dari jenis kayu berat setebal beberapa sentimeter, dengan ukuran sebesar meja makan. Pada bagian bawah panggung itu diberi tiang-tiang batu api dan paku. Seekor sapi menghela tribulum itu maju dan mundur di atas hasil panen, sehingga menyisihkan butir-butir beras dari sekamnya. Jika penderitaan adalah tanda gereja yang sejati, jelaslah bahwa penderitaan juga menjadi pengalaman semua orang yang percaya kepada Allah. Kita dapat bersukacita dalam kesengsaraan kita, karena kita percaya dengan jalan itu "Allah memisahkan beras dari sekamnya."
Tatkala Yosua dan Kaleb diminta untuk bergabung dalam suatu team untuk menyelidiki kota Kanaan, mereka pulang dengan penuh suka-cita. Bukan berarti tanah Kanaan itu gampang direbut. Di tanah Kanaan banyak orang-orang tegap raksasa, yang membuat teman-teman yang bergabung di dalam team itu gentar,takut dan ciut. Mengapa Yosua dan Kaleb tidak takut, sekali lagi jawabannya adalah mereka memegang penuh firman Tuhan sebagai jaminan.
Dalam Alkitab terjemahan masa kini, salah satu ayat favorit saya yakni Ibrani 13:5 bunyinya "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau, dan aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." Dalam bahasa aslinya, kalimat ini sesungguhnya terdiri dari lima kata negatif. Untuk memberi tekanan sepenuhnya pada kalimat tersebut, seperti yang seharusnya dimaksudkan dalam Ibrani 13:5, kita terjemahkan menjadi "Aku tidak akan membiarkan engkau, tidak meninggalkan engkau, tidak, tidak pernah, bagaimanapun tidak." Atau bila kita lebih menyukainya boleh diterjemahkan demikian "Aku tidak pernah, tidak pernah, tidak pernah akan meninggalkan engkau."
Saya akan menutup firman Tuhan hari ini dengan mengutip sebuah sajak yang berjudul
Jejak Jejak KakiMargaret Fisback Powers
(Yesaya 46:4)
Suatu malam aku bermimpi,
berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama Tuhanku,
Melintas di langit gelap babak-babak hidupku,
Pada setiap babak, akau melihat dua pasang jejak kaki,
Yang sepasang milikku dan yang lain milik Tuhanku,
Ketika babak terakhir terkilas dihadapanku,
aku menengok jejak-jejak kaki di atas pasir,
dan betapa terkejutnya diriku.
Aku sadar bahwa ini terjadi saat hidupku
berada dalam keadaan yang paling menyedihkan.
Hal ini selalu menggangguku,
dan akupun bertanya kepada Tuhan tentang dilemaku ini,
"Tuhan ketika aku mengambil keputusan untuk mengikuti-Mu,
Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap-cakap denganku
di sepanjang jalan hidupku.
Namun ternyata dalam masa yang paling sulit dalam hidupku,
hanya ada sepasang jejak kaki
Aku benar-benar tidak mengerti
Mengapa ketika aku sangat memerlukan-Mu
Engkau meninggalkan aku."
Ia menjawab dengan lembut, "Anak-Ku, Aku sangat mengasihi-Mu
dan sekali-kali Aku tidak akan pernah membiarkanmu,
terutama sekali ketika pencobaan dan ujian datang,
Bila engkau melihat hanya ada sepasang jejak kaki,
itu karena engkau berada dalam gendongan-Ku"
No comments:
Post a Comment