PENDETAKU DAN ANAK-ANAKNYA !!!
“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” (Efesus 6:4)
Menjadi anak pendeta bukan suatu pilihan, anda menginginkannyapun tidak pernah akan bisa, apalagi untuk menolaknya; kecuali kalau menjadi anak angkat pendeta mungkin sedikit gampang. Saya yakin bahwa kehadiran anak-anak pendeta itu sudah dirancang oleh Tuhan sebelumnya. Namun permisi tanya, apakah seorang anak pendeta juga harus menuruti panggilan seperti ayahnya sebagai “seorang pendeta”? Saya yakin anda pasti akan menjawabnya “tidak”. Namun sadarkah anda selama ini, bahwa banyak orang termasuk para jemaat yang “baik hati” menuntut kehidupan anak pendeta mesti seperti ayahnya? Baik kerohanian, sikap dan tingkah-laku serta segala-galanya harus sama seperti ayahnya.
Saya sendiri bukan anak pendeta, tetapi saya bisa merasakan bagaimana pedihnya ketika tuntutan yang diberikan oleh seorang jemaat, yang menghendaki anak-anak pendeta itu melebihi anak-anak lainnya. Anak pendeta harus lebih suci, lebih sopan, lebih sabar, lebih giat dan ya lebih segala-galanya. Memangnya anak pendeta itu manusia ajaib, sehingga ia dapat memenuhi tuntutan yang berat ini?
Sering kita mendengar bahwa ada anak pendeta itu nakal-nakal, saya kurang tahu apakah karena orang tuanya yang kurang pandai mendidik anaknya, atau karena kesibukan pelayanan orang tuanya sehingga anaknya kurang mendapat perhatian? Namun, semua ini sangat mempengaruhi pelayanan orang tuanya. Jemaat biasanya tanpa menyadari, hanya tinggal ngomong saja, “ Percuma, anak pendeta, perbuatannya seperti itu”, nama orang tuanya dibawa-bawa lagi. Padahal, kalau yang namanya anak, pasti ada saja “kenakalannya”.
Sadarkah anda bahwa tuntutan terhadap anak pendeta itu menjadi standard yang berlipat ganda, satu pihak dia sebagai orang Kristen, tuntutannya harus menjadi anak-anak Kristen yang baik dan lebih baik dari yang lainnya. Sekarang ia juga menyandang “gelar” anak pendeta, tuntutannya untuk kedua kalinya harus melebihi anak-anak Kristen lainnya. Inilah beban yang sering saya temukan di kalangan anak-anak pendeta.
Kadang pelayanan di gereja yang besar juga tidak menjamin segala-galanya. Apabila seorang pendeta melayani di gereja yang besar dan di kota besar, walaupun gajinya besar, maka tugas dan tanggung-jawabnya juga besar, tuntutannya juga besar, kesibukannya juga besar. Hampir setiap minggu ia harus berkotbah dan berulang kali, kemudian ada lagi pembesukan jemaat, rapat, retreat, pemberkatan nikah, konseling, Penguburan, dan sebagainya. Tugas-tugas harian tersebut sudah sangat menyita waktu, sehingga kadang kala ia tidak sempat memperhatikan anak-anaknya. Apalagi kalau sang isteri pendeta juga merangkap sebagai hamba Tuhan, kadang harus menangani sekolah Minggu atau komisi yang lain. Belum lagi ditambah waktu luang yang berbeda, anak-anak mempunyai waktu luang pada hari Sabtu dan Minggu, sedangkan ayah dan ibu justru sibuk pada hari-hari tersebut.
Seorang pendeta pernah bersaksi, bahwa saking sibuknya beliau pelayanan di gereja, kadang waktu menemani anakpun tidak ada selama sebulan penuh. Bahkan ada mainan anak-anaknya yang rusak tidak sempat diperbaiki dalam waktu berbulan-bulan dan sampai bertahun-tahun. Jemaat tidak pernah mengetahui akan hal ini bukan? Itu sebabnya saya memberitahukannya, jadi tidak ada pikiran lagi bahwa pendeta anda itu tidak ada pekerjaannya?
Beberapa tahun yang silam saya pernah mendengar ada puteri seorang pendeta yang barangkali kurang mendapat perhatiaan dari orang tuanya, sehingga tidak hati-hati di dalam pergaulan dan pacaran, beliau hamil sebelum menikah. Hal tersebut membuat sang ayah sebagai pendeta sangat terpukul, ia merasa gagal mendidik anak, termasuk juga gagal melayani Tuhan. Dalam kondisi demikian, ia pun mendapat cemooh dari beberapa jemaat, tidak ada yang memberikan kekuatan kepadanya. Jalan terakhir yang ditempuh sang pendeta adalah mengundurkan diri dari pelayanan di gereja tersebut. Lihatlah, begitu eratnya hubungan anak seorang pendeta dengan orang tuanya, dan ini sampai menyangkut profesi dan jabatan.
Tuntutan terhadap seorang pendeta dan anaknya begitu berat, sehingga banyak anak-anak pendeta tidak bersedia masuk ke Seminari untuk menjadi hamba Tuhan, alasannya tidak terpanggil menjadi hamba Tuhan, atau kami tidak mau seperti ayah. Pernah sewaktu saya kuliah di Medan, ada seorang teman sekolah, yang sekarang sudah menjadi pendeta, beliau bersaksi sewaktu kecilnya selalu diejek oleh anak-anak jemaat ayahnya. Mereka mengatakan “Hidupmu itu dari kantong persembahan”, ia merasa sakit hati. Saya tidak tahu siapa yang mengajar anak-anak itu berkata demikian. Namun inilah kenyataan hidup yang pernah dihadapi oleh teman saya itu. Untunglah dia masih terpanggil menjadi hamba Tuhan, sekarang beliau sudah menjadi pendeta.
Kadang sebagai seorang anak pendeta, mereka juga butuh sesuatu yang sama dengan teman-temannya, namun hidup mereka harus “memikul salib” mengikuti ayahnya. Mungkin bukan barang mewah yang mereka harapkan, tetapi keperluan sehari-harinya saja sulit dipenuhi. Pernah seorang anak hamba Tuhan memakai sepatu yang mereknya sama dengan sepatu anak majelisnya, tidak berapa lama sudah muncul berbagai gossip; padahal pengakuannya bahwa sepatu itu dibeli dari hasil tabungannya.
Yesus pernah berkata "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletkakkan kepala-Nya." Ayat ini cukup menghibur para pendeta, karena ternyata mereka masih ada pastori sebagai tempat tinggal, walaupun di dalam pastori itu tidak ada perabotnya, kalau ada kebanyakan perabot bekas dari jemaat yang kemarin dulu baru pindah ke rumah baru. Dan majelis yang di gereja tersebut barangkali mengatakan syukur masih ada perabot bekas, daripada harus tidur di lantai?
Kadang ada pergumulan tersendiri, misalnya yang paling sederhana ada seorang anak pendeta yang pingin seperti anak-anak lainnya merayakan ulang tahun. Tentu sebagai pendeta beliau sulit melakukan hal ini. Selain biaya, juga yang mesti diundang banyak sekali, jadi perlu pertimbangan yang sangat rinci. Belum lagi ada saja omongan jemaat dari belakang, entah karena pendeta pingin mendapat hadiah dari jemaat dan sebagainya. Kalau anak-anak jemaatnya tidak diundang, nanti dikira pendetanya sombong, kalau semuanya diundang, mana tahan?? Nah, kalau saya sih paling beli sebuah kue tar, lalu serahkan kepada guru sekolah Minggunya, acaranya menghembus liin dan potong kue, lalu makan, habis perkara! Gampangkan. Daripada timbul omongan jemaat di sana-sini. Belum lagi menikahkan anak, itu ceritanya lain lagi, saya belum berpengalaman untuk ceritakan yang demikian.
Yang paling menyulitkan apabila pendeta itu tinggalnya di pastori yang letaknya bersamaan dengan gereja. Jemaat setiap hari selalu melewati rumah pendetanya, privasinya tidak ada. Anak-anaknya juga merasa tidak bebas, bayangkan anak-anak sudah menganggap lokasi itu sudah seperti rumahnya sendiri, kadang mereka bermain, kadang mereka berlari dan juga menjerit. Namun ada hari-hari yang mereka harus diam mencekam seribu bahasa di rumah, karena ada acara Kebaktian Doa, karena Persekutuan Kaum Wanita, dan lain-lain.
Selain itu saya pernah melihat juga ada majelis yang menempatkan rumah pendetanya di lantai empat sebuah ruko, padahal anak pendeta tersebut masih kecil, sementara isterinya sedang hamil. Memang beliau boleh bersyukur, masih ada tempat tinggalnya, tetapi mempertimbangkan anaknya yang masih kecil, dan lantai empat, tentu tidak begitu efektif dan sangat berbahaya. Namun yang menjadi masalah adalah sang majelis masih menyelutuk di belakang “Bersyukurlah sudah ada tempat tinggal, masih banyak orang yang tinggal di kolong jembatan?”.
Permisi tanya saja, kalau anda yang menjadi “pendeta” mendengar kalimat ini, saya percaya kalau diri anda masih belum diubah oleh Kristus, pasti anda akan marah besar. Memang sesuai dengan istilah yang namanya hamba, ya harus memikul salib. Namun bukankah salib itu sudah dipikul oleh Tuhan Yesus? Apakah sekarang kita memikulnya lagi, barangkali pertanyan ini bisa menjadi sebuah kotbah yang cukup panjang lagi.
Saya mau jujur berkata pada anda, bahwa mereka yang berkeluarga dan mempunyai anak, sebenarnya mereka sulit untuk berpindah ladang kalau bukan karena habis masanya atau juga karena ada beban pelayanan yang lain (ini jawaban yang umum) atau yang lebih seru lagi, bermasalah. Soalnya, selain perlu penyesuaian diri (adaptasi) juga sekolah anak-anak dan sebagainya. Belum lagi “harta kekayaannya” yang cukup banyak yang harus dipindahkan. Jadi, ada kalanya kalau sang pendeta pindah ladang ke kota lain, ada yang dengan terpaksa meninggalkan anak-anaknya. Saya yakin pergumulan ini tidak gampang.
Kebanyakan bagi pendeta yang sekolah di luar negeri, maka anak-anaknya sudah mengadaptasi dengan bahasa setempat, sehingga pada waktu pulang ke negeri sendiri pasti mengalami kesulitan, dan belum tentu mereka cocok dengan sistem pendidikannya. Jadi tidak heran ada pendeta (tidak semua) yang demi sekolah anak-anak, mereka memilih tetap tinggal di luar negeri.
Terlalu sering saya mendengar orang-orang mengatakan “anak pendeta kok begitu”, “Anda anak pendeta loh, jadi harus begini….” dan sebagainya. Memangnya hanya anak pendeta yang mesti baik, saya yakin anak majelis, anak jemaat juga demikian tuntutannya. Inilah sekilas suka-duka pendeta dan anak-anaknya. Saya tidak tahu bagaimana pengalaman anda dengan anak-anak pendeta di gereja anda. Saya juga belum tahu bagaimana pengalaman anda dengan anak-anak anda. Tetapi ketahuilah, anak-anak pendeta, juga butuh pendeta; yang barangkali ia tidak merasakan ada pendeta di gerejanya karena sikap ayahnya sebagai pendeta di gereja sangat berbeda dengan sewaktu berada di rumah. Ayahnya lebih sering memperhatikan orang lain dari pada mereka. Tentu sangat menyakitkan sekali jikalau anak seorang pendeta harus pergi mencari pendeta lain untuk konseling atau menceritakan kehidupannya.
Biarlah melalui tulisan ini mereka yang menyandang predikat pendeta boleh disadarkan bahwa selama ini ada pergumulan tersendiri yang dihadapi anak-anaknya. Mari kita sediakan waktu, karena mereka sangat membutuhkannya. Jangan terlambat, selama masih ada kesempatan. "Didiklah anak-anak menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu" ( baca Amsal 22 :6). Sebaliknya kalau anda adalah majelis dan juga jemaat Tuhan di gereja, ketahuilah bahwa anak pendeta itu juga sama saja seperti anak anda, standard kehidupannya sama dengan anak-anak lainnya
Artikel ini dikutip dari Buku "Pendetaku Seperti Superman" yang telah diterbitkan oleh Penerbit Kristen KAIROS Jogjakarta. Anda dapat memiliki buku ini di Toko Buku Gramedia di Seluruh Indoensia
No comments:
Post a Comment