PENDETAKU BURN OUT ?
"Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa” ( II Korintus 4:8)
Masalah Burn Out ini semestinya bukan hanya secara khusus terjadi pada mereka yang berjabatan pendeta, saya yakin mereka yang bekerja pada profesi lain juga cenderung dapat mengalami demikian. Rasa kekecewaan, dikritik habis-habisan, merasa gagal terus-menerus, selalu merasa terabaikan atau kurang diperhatikan, tidak pernah ada pujian, tidak akur dengan rekan, selisih pendapat, terlalu sibuk pada pekerjaannya, inilah sekumpulan gejala-gejala seseorang itu menuju kepada Burn Out. Secara harafiah Burn Out itu dapat diterjemahkan dengan dibakar habis, kalau mau diterjemahkan secara bebas mungkin sudah tidak ada semangat lagi depresi, tidak bergairah lagi, bosan hampir putus asa , frustrasi dan merasa tidak berguna lagi?.
Kalau hari ini Burn Out ditujukan untuk para pendeta, maka sudah saatnya pendeta mengambil waktu teduh sejenak untuk, mengkaji ulang, mengevaluasi diri sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan pelayanannya, atau ladang yang digeluti? Gereja yang makin hari makin berkurang pengunjungnya, jemaat yang hanya tahu mengkritik, program gereja yang belum pernah terlaksana? Atau kalau terlaksana jemaat tidak mendukungnya? Mungkin juga sudah terlalu lama melayani di suatu ladang? Tidak akur dengan rekan kerja, baik dengan hamba Tuhan yang lain maupun majelis? Kotbah yang disampaikan terasa tidak ada “power” lagi, jemaat hanya memasukkan kotbah tersebut ke telinga kanan lalu mengeluarkannya melalui telinga kiri? Bahkan selesai kotbah bertubi-tubi ocehan yang anda terima. Anda merasa sudah tidak ada bahan lagi yang perlu disampaikan pada Kebaktian hari Minggu? Keluarga, anak dan isteri tidak mendukung pelayanan anda? Anda merasa ada dosa yang belum sempat diselesaikan dengan Tuhan secara pribadi? Majelis yang modelnya seperti bos? Sudah bertahun-tahun melayani, tidak ada tanda-tanda ditahbiskan menjadi pendeta? Saya yakin masih banyak lagi, yang membuat seorang hamba Tuhan mulai merasa bosan, atau merasa tidak layak lagi melayani. Mau mundur! Mau berhenti sejenak! Seorang penulis yang bernama Cliff Stabler mengatakan “Berusahalah untuk mengerti kebutuhan pendetamu sebelum kebutuhan itu menekan perasaannya”
Walaupun ada hal lain yang sangat sensitif sekali untuk dibicarakan, khususnya masalah uang dan segala kebutuhan seorang pendeta, namun sering kali masalah yang satu ini juga tidak kalah pentingnya membuatnya menjadi Burn Out. Bayangkan saja kebutuhan yang senantiasa melimpah, dari mulai dapur, sampai kebutuhan anak-anak sekolah, reparasi mobil dan juga biaya obat-obatan. Kadang ada majelis gereja yang kurang pengertian, atau sengaja tidak mau mengerti, sebenarnya hamba Tuhan di gerejanya itu dengan segala kebutuhan yang ada tidak mencukupi. Kenaikan gaji pendeta akan diberlakukan apabila persembahan jemaat sudah mulai kelihatan bertambah, namun herannya jemaat juga bukannya lebih suka memberikan persembahan sehingga sang pendeta harus menunggu dan bungkam seribu bahasa. Mungkin juga sang pendeta tidak lupa berdoa pada Tuhan untuk masalah ini, namun ternyata Tuhan belum menjawab doanya. Jemaat memang selalu mendukung kebutuhan pendetanya di dalam doa, namun batasnya hanya sampai pada doa tidak lebih dari itu; selebihnya diserahkan kembali kepada Tuhan. Belum lagi ada anggota jemaat yang suka sekali mencampuri urusan orang lain, termasuk juga urusan keluarga pendetanya; hal ini akan membuat sang pendeta bertambah stress melihat jemaatnya yang kurang kerjaan.
Ada pendeta yang sudah melayani sepuluh tahun, namun belum pernah mengambil cuti, sebenarnya mereka berhak untuk mengambilnya selama sebulan untuk setiap satu tahun pelayanan. Memang majelisnya pernah bertanya mengapa pendeta kami tidak pernah mengambil cutinya? Kalau melihat pendeta yang di gereja lain, bahkan ada yang mengambil cutinya melebihi jatahnya. Ada juga pendeta yang pergi ke luar negeri berulang kali di dalam satu tahun. Sementara majelis lain memuji-muji pendeta yang tidak pernah cuti ini, sebab dianggap sangat rajin dan setia melayani. Padahal setelah diselidiki dengan saksama, ternyata pendetanya bukan tidak mau cuti, ternyata cuti itu memerlukan banyak biaya. Bayangkan rumah sanak familinya berada di luar pulau, ditambah isteri satu dan anak tiga, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Terus terang saja bayaran gaji satu bulan pendeta tidak cukup hanya untuk biaya perjalanannya saja. Apabila saat ini anda sebagai jemaat atau majelis, mungkin sudah saatnya gereja anda memikirkan program kesejahteraan cuti buat sang pendeta. Lihat, inilah tekanan rutinitas yang harus dijalani seorang pendeta bertahun-tahun, semua ini merupakan akar terjadinya Burn Out itu.
Belum lagi ada majelis yang berani-berani mencoba untuk memberi larangan untuk cuti pendetanya, saya tidak tahu mengapa mereka berani berbuat demikian? Padahal sang pendeta tidak pernah meminta biaya cuti padanya? Atau meminjam uang padanya? Itu namanya pemerasan!! Sudah saatnya saya pikir para majelis model demikian bertobat atau istirahat beberapa priode untuk memperbaiki kerohaniannya, supaya di dalam pelayanannya memiliki “hati yang seperti Kristus”. Doa dan pengharapan saya agar anda tidak pernah bertemu dengan majelis yang model demikian?
Memang kadang kala di gereja sudah mulai kasak-kusuk terdengar berbagai ocehan dari jemaat yang pernah tidak puas pada pendetanya, beliau bukan hanya tidak pandai berkotbah namun juga begitu lamban mempraktekkan apa yang dikotbahkan. Kehidupan pendeta tidak dapat menjadi contoh. Hal ini juga membawa pengaruh terhadap masa depan pelayanan para pendeta. Selain itu ada jemaat gereja yang kurang menghargai pendetanya, sang pendeta dianggap sebagai musuh dan dicemooh. Sebagai pendeta tentu beliau tidak akan membalas segala tindakan dari jemaat itu. Pendeta ini hanya menunggu jawaban Tuhan atas doanya, sampai suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan sehingga memaksa sang anggota itu harus meninggalkan gereja. Maka barulah pendeta tersebut merasa sedikit aman melayani.
Di pihak lain pernah ada seorang pendeta yang melayani di sebuah gereja yang cukup besar dan menurut saya mampu ekonominya, namun fasilitas untuk pelayanan yang disediakan tidak memadai. Majelis tanda kutip begitu “pelitnya” sampai mobil pendeta yang sudah sering mogokpun tidak ada rencana untuk meremajakannya. Suatu hari sang pendeta berkunjung ke jemaat yang cukup kaya, namun belum tiba di rumah tersebut mobilnya sudah mogok lagi. Terpaksa meminta para satpam di rumah itu membantu mendorong mobilnya. Singkat cerita sang pendeta itu diledekin oleh sang satpam itu dengan nyanyian “Si Jago mogok”. Apakah itu yang diharapkan terjadi bagi pendeta anda? Saya yakin tidak bukan? Oleh sebab itu sudah saatnya, gereja yang mapan; dikelola lebih profesional oleh para majelis. Saya sangat setuju , kalau gereja memang tidak sanggup keuangannya, maka hal ini mungkin bisa diabaikan, namun kalau keuangannya sanggup maka majelis harus menambahkan segala fasilitas pelayanan untuk pendeta anda. Jemaat pasti akan mendukung melalui persembahan kalau mereka melihat ada projek yang dikerjakan oleh gereja. Jangan menambah beban pada pendeta anda untuk memikirkan hal ini lagi.
Coba anda perhatikan ayat-ayat Alkitab yang ditulis oleh Markus, baca Markus 10 : 42-45 , bunyinya demikian Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Saya yakin mereka yang sebagai pendeta sudah mengerti ayat ini, mereka memahaminya bahkan sudah pernah mengkotbahkan ayat ini juga. Namun masalahnya apakah ayat ini sudah dipraktekkannya? Ini masih tanda tanya!! Benar, para pendeta dipanggil untuk melayani, namun apakah karena pendeta dipanggil untuk melayani lantas beliau boleh diperlakukan dengan sesukanya oleh jemaat? Tentu tidak bukan?
Biasanya di setiap gereja ada jemaat yang terpanggil untuk memperhatikan para pendetanya, segala kebutuhannya sangat diperhatikan, itu sebabnya mereka kadang disebut seperti “burung gagak” yang muncul membawa berkat. Namun tidak dapat kita sangkal bahwa di gereja juga ada jemaat yang tidak mau peduli dengan pendetanya, bahkan selalu mencari kesalahan para pendetanya. Ketahuilah, jikalau para pendeta berbuat sebaik mungkin dan berusaha sekuat tenaga mungkin untuk memberikan pendekatan atau perhatian kepada jemaat, pasti ada saja satu dua jemaat yang tidak merasa senang kepadanya. Oleh sebab itu sangat diperlukan kematangan rohani bagi seorang pendeta untuk masuk ke dalam ladang pelayanan yang sulit ini; kalau tidak, maka jangan heran pada waktu yang sangat singkat saja para pendeta muda pun akan mengalami Burn Out.
Saya pernah mendengar seorang calon pendeta yang masih muda masuk ke ladang pelayanan yang bermasalah. Ditambah lagi beliau di gereja tersebut tidak menemukan sosok pendeta yang bisa diteladani sikapnya, maka di dalam satu tahun beliau melayani di gereja itu, beliau merasa sangat putus asa dan depresi; akhirnya ia mengambil langkah meninggalkan ladang pelayanan dan tidak lagi menjadi hamba Tuhan.
Memang secara teologis kita mungkin bisa membela dengan mengatakan, kemungkinan besar calon pendeta itu tidak mengalami panggilan pelayanan yang sungguh-sungguh; atau pada waktu itu beliau hanya emosinya saja. Tentu sangat disayangkan kalau sebagai seorang pemuda harus menghabiskan waktu mudanya untuk sekolah di Seminari sampai lima tahun atau lebih, kemudiaan ternyata panggilannya tidak jelas? Padahal teman-teman yang sepantaran dengannya saat ini sudah menjadi orang-orang yang berhasil di dalam bidang pekerjaannya masing-masing. Oleh sebab itu pertimbangkanlah dengan sebaik-baiknya kalau memang hari ini anda mengambil keputusan untuk menjadi seorang pendeta. Anda perlu meminta petunjuk yang jelas dari Tuhan, supaya benar-benar taat menjalani penggilan tersebut tanpa ada rasa penyesalan dikemudian hari.
Kalau anda perhatikan, ada pendeta yang menggunakan terlalu banyak waktu untuk melayani orang orang lain. Dia sibuk membereskan persoalan, mendamaikan seorang dengan yang lain, mengurus perselisihan keluarga yang sulit, dan menghadapi 1001 soal lainnya. Akhirnya ia sendiri menjadi frustasi. Sebagai orang yang dipanggil untuk pekerjaan Tuhan yang mulia itu, rasul Paulus juga bukan selalu berjalan pada jalan yang mulus, sering kali ia mengalami bahaya, ancaman yang cukup membahayakan. Namun apa yang dikatakan oleh Paulus "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa II Korintus 4:8 Rasul Paulus tidak pernah putus asa terhadap segala persoalannya., karena ia tahu, yang dia layani adalah Tuhan yang hidup, yang sanggup menolongnya jika Ia menghendaki itu terjadi.
Memang tidak gampang menjalani panggilan Tuhan ini, seperti apa yang dialami Nabi Elia, ada saatnya beliau gagah perkasa namun ada saat-saat ia putus asa tak berdaya, bahkan ia minta Tuhan Allah mengambil nyawanya (lihat 1 Raja-raja 19 :4). Para pendeta yang sudah lama melayani di dalam sebuah ladang sebenarnya perlu waktu untuk istirahat sebentar, untuk memperbaharui semangat yang baru. Ada sekolah teologi yang boleh menerima alumninya untuk kembali melanjutkan sekolah. Kemarin saya mendengar bahwa ada salah satu perusahaan Komputer di Amerika yang memberlakukan tahun sabatikal bagi pegawainya yang sudah bekerja di atas delapan tahun. Jadi pegawai tersebut berhak menngambil waktu seperti cuti, namun honornya tetap berjalan selama kurang lebih tiga bulan., Saya pikir kebijaksaaan ini cukup baik, untuk mencegah agar pegawainya tidak bosan dalam pekerjaan ini, dan ia bisa pergi mencari angin segar sebentar.
Ada beberapa gereja yang juga memberlakukan tahun sabatikal buat pendetanya, jadi pada tahun ke delapan selama satu tahun, pendeta tersebut diberikan kebebasan penuh istirahat. Jadi dalam waktu setahun tersebut, sang pendeta boleh masuk ke kampus untuk refresing kembali dengan beberapa mata kuliah. Atau mereka boleh membantu pelayanan di gereja yang lain di luar negeri misalnya, supaya ada suasana baru. Namun ada baiknya janganlah waktu tersebut dipakai terlalu padat, sebab percuma, tujuannya supaya istirahat, malah bertambah beban yang berat. Saya tidak tahu apakah gereja anda sudah terpikirkan akan hal ini atau belum? Kalau perusahaan sekuler saja tahu akan sabatikal tersebut, mengapa gereja tidak ada hal itu? Jangan sampai semangat, tenaga, dan pikiran terkuras habis, karena pendeta anda menjalani rutinitas pelayanan di gereja. Pendeta memerlukan retreat, yang artinya ada jangka waktu baginya untuk tenangkan diri dan memperbaharui semangatnya kembali. Dengan demikian ia tidak akan mengalami Burn Out.
No comments:
Post a Comment