MEMPERHATIKAN YANG TIDAK TERPERHATIKAN
(Yohanes 5:1-9)
Salah-satu isue yang beredar di akhir tahun 1996 yang cukup menggelisahkan warga metropolis Surabaya adalah isue "penyuntikan AIDS". Diceritakan bahwa di tempat-tempat keramaian ada orang yang sudah mengidap penyakit AIDS mengambil bekas suntikan dirinya lalu disuntik kepada para pengunjung plaza-plaza, supaya mereka juga ditulari penyakit AIDS. Hal ini membuat cukup banyak orang baik remaja, pemuda maupun orang dewasa enggan berkunjung ke plaza-plaza, karena tempat-tempat ini dianggap cukup rawan.
Motivasi dari penyebar isue tersebut tidak kita ketahui, tetapi yang pasti menurut syinyalir dari berbagai pihak yang bisa dipercaya karena adanya persaingan dalam hal bisnis di plaza-plaza. "Persaingan" itu membuat manusia lupa diri, saling sikut-menyikut, siapa yang kuat dia yang menang, sedangkan yang lemah ditekan dan harus mengalah. Untuk mencapai kemenangan mereka tidak segan-segan memakai cara yang jahat yang penting hasilnya, inilah persaingan.
Tanggal 2 Januari 1992 yang lalu, terjadilah suatu peristiwa di Aspen, Clublogde Colorado yang cukup mengejutkan orang-orang Indonesia. Masalahnya sebenarnya sangat sepele, yang pasti bukan perang dunia; terjadi pertengkaran kecil antara dua orang sahabat lama yang sudah saling mengenal sejak dua puluh tahun yang silam. Kalau pertengkaran kecil antara dua orang kecil tidak begitu bermasalah, yang menjadi masalah sekarang adalah pertengkaran tersebut dilakukan oleh dua orang yang cukup tersohor.
Peristiwanya kira-kira begini; Ratna Sari Dewi isteri almarhum mantan presiden pertama Soekarno bertengkar dengan Voctoria Marie Osmena alias Minnie, yang mengakibatkan wajah Minnie berlumuran darah akibat goresan pecahan gelas yang berisi sampanye oleh Dewi.
Masalahnya kurang jelas, tetapi para wartawan mengambil kesimpilan bahwa masalahnya adalah sekitar iri, cemburu dan dendam atau boleh disimpulkan dengan persaingan yang dipendamkan sejak Agustus tahun sebelumnya. Amarahnya meledak-ledak tatkala secara kebetulan mereka berdua diundang untuk menghadiri suatu pesta. Akibat pertengkaran itu, Mannie menuntut Dewi sahabat lamanya sekitar sepuluh ribu dollar Amerika dan Dewi sempat dipenjara selama 34 hari. Sementara itu menurut Dewi masalah ini tidak mungkin dapat didamaikan lagi.
"Persaingan" membuat sahabat baik menjadi lawan, saudara kandung menjadi musuh. Tidak pandang bulu, bagi mereka semua yang menjadi penghalang harus disingkirkan, yang bertentangan harus dihancurkan, yang coba-coba melawan harus dilenyapkan dari permukaan bumi.
Rupanya masalah "persaingan" ini bukan merupakan barang baru, 2000 tahun yang silam peristiwa ini pernah terjadi. Kejadiannya bukan di kota besar seperti di Jakarta, Surabaya atau Medan, tetapi di tepi sebuah kolam yang bernama Betesda. Sebuah kolam yang luasnya diperkirakan hanya 40 m2.
Konon ceritanya pada dasar kolam itu ada arus-bawah tanah yang kadang-kadang menggelembung udara ke atas sehingga air kolam tampak bergelombang. Orang-orang pada saat itu begitu yakin bahwa goncangan air semacam itu disebabkan oleh malaikat, dan siapapun yang pertama kali masuk ke kolam setelah terjadi goncangan air maka segala macam dan apapun penyakitnya akan segera sembuh.
Saudara bisa bayangkan bahwa tatkala air kolam itu bergoncang, maka orang-orang yang berada di tepi kolam itu akan saling berlomba terjun ke kolam. Di tepi kolam itu sudah menunggu begitu banyak orang dengan segala sakit-penyakitnya. Yohanes mencatat ada orang buta, orang timpang, orang lumpuh dan tentu saja masih banyak penderita penyakit lainnya.
Kriteria orang-orang yang sakit itu juga bermacam-macam: Ada yang sakit, tetapi tubuhnya masih kuat sehingga kalau air kolam itu goncang maka dengan secepat kilat ia dapat melompat ke kolam dan sembuh. Ada yang mungkin sakitnya sudah parah, tubuhnya lemah tetapi ia mempunyai banyak sanak-saudara, sehingga ketika air kolam itu bergoncang maka sanak saudaranya sudah siap siaga melemparkannya ke kolam dan penyakitnya sembuh. Ada yang sakit parah, tubuhnya lemah tidak mempunyai sanak saudara, tetapi mempunyai banyak harta warisan, sehingga ia bisa membayar orang-orang untuk membantu dia, sehingga tatkala air kolam itu bergoncang maka orang-orang yang dibayarnya itu dengan segera akan menolongnya.
Lalu bagaimana dengan teman kita yang miskin ini, dia lumpuh dan tidak mempunyai sanak-saudara. Di tepi kolam ini tidak ada istilah yang datang duluan, maka dia duluan. Di tepi kolam ini tidak ada kamus "giliran". Di tepi kolam ini tidak ada yang bersifat toleransi, yang ada sifat egoisme tinggi. Yang penting saya, yang penting saya; kira-kira begitu. Siapa yang punya uang dia yang menang, sehingga tidak heran di tepi kolam itu ada seseorang yang sudah 38 tahun berbaring di sana karena lumpuh.
38 tahun bukan suatu waktu yang singkat, tetapi selama waktu ini banyak peristiwa yang sudah terlupakan. 38 tahun yang silam saya belum lahir di dunia ini. 38 tahun yang silam kota Surabaya pasti masih sepi. 38 tahun sama seperti waktunya orang-orang Israel mengembara di padang belantara (lih Ulangan 2:14). 38 tahun merupakan waktu yang cukup lama, sulit dibayangkan. Namun teman kita yang lumpuh ini selama 38 tahun menunggu di tepi kolam, belum ada perubahan. Ia akan tetap berada di tepi kolam itu seandainya Tuhan Yesus tidak mengulurkan tangan dan berbelas kasihan untuk menyembuhkannya.
Di tepi kolam itu bukannya tidak ada orang? Banyak sekali orang berlalu lalang, tetapi mata mereka tidak tertuju pada orang yang lumpuh itu. Mereka sibuk dengan kepentingannya sendiri. Seandainya mereka sudah sembuh, maka mereka segera meninggalkan tempat itu. Tidak ada waktu rasanya untuk menolong orang lain, jadi; sekali lagi kita tidak perlu merasa heran jikalau ada orang yang berbaring lumpuh selama 38 tahun.
Lain halnya dengan Tuhan Yesus, di saat-saat semua orang tidak memperhatikan si lumpuh itu, Tuhan Yesus justru memperhatikannya. Alkitab mencatat bahwa saat itu baru selesai suatu perayaan orangYahudi. Tidak diketahui secara pasti perayaan apa yang baru mereka lakukan. Namun menurut tradisi Yahudi ada 3 macam pesta yang harus dirayakan oleh mereka., yaitu Paskah, Pentakosta dan Pondok Daun. Setiap orang Yahudi yang sudah dewasa dan yang tinggal jarak 20 km dari Yerusalem secara hukum diharuskan ikut serta ketiga pesta ini. Seandainya pasal 6 dicatat terlebih dahulu sebelum pasal 5 maka kita bisa menduga bahwa pesta yang dimaksudkan dalam perikop ini adalah pesta Pentakosta, sebab dalam pasal 6 diceritakan bahwa ketika itu pesta Paskah sudah dekat (Yoh 6:4).
Tatkala Yesus tiba di Yerusalem, ia sendirian saja, keadaan murid-murid-Nya tidak disebutkan. Ia meliwati kolam Betesda, dan mata-Nya tertuju melihat seorang yang lumpuh berbaring di situ. Ayat 6 mencatat "Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah ia kepadanya "Maukah EngkauSembuh". Saudara, tatakala Yesus bertanya "Maukah Engkau Sembuh?" Itu berarti Yesus mau katakan: Maukah engkau menyerahkan dirimu sebagaimana adamu ke dalam tanganku?"Maukah engkau membiarkan Aku berbuat sesuatu yang tak dapat engkau perbuat sendiri? Maukah engkau percaya sepenuhnya kepadaku?" Rupanya tidak selalu orang yang malang mau ditolong. Orang-orang yang tak berdaya kadang-kadang mempergunakan kelemahannya untuk mencari simpati dan keuntungan dari kawannya. ada orangh yang sudah terlalu menderita sehingga putus asa, dan menyerah kepada keadaan; dan orang-orang seperti ini biasanya merindukan supya dirinya cepat mati. Kita tidak tahu bagaimana motivasi si lumpuh ini, tetapi saya yakin orang ini masih murni, ingin dirinya sembuh tentunya. Baca ayat 7, jawaban orang sakit itu "Tuhan, tidak ada orang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya goncang. Dan aku sementara menuju kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku" Saudara, hal ini sangat menyedihkan tetapi cocok dengan kehidupan.
Ketika "TabibAgung" itu bertanya "Maukah engkausembuh"? Orang lumpuh itu tidak segera menjawab "Ya Tuhan tolonglah saya" atau "Ya Tuhan saya mau". Tetapi jawabnya "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu? Si lumpuh bingung dengan apa yang paling dia harapkan, yakni kesembuhan. Namun Tuhan Yesus tidak memperdulikan itu. Ayat 8 mencatat Yesus menyuruh dia "Bangunlah, angkat tilammu dan berjalanlah, inilah anugerah." (Nb: tilam mereka pada waktu terbuat dari kain yang sangat mudah digulung)."
Secara manusia sebenarnya si lumpuh tidak sanggup berbuat apa-apa lagi, tetapi Yesus datng dan berkata "Angkatlah tilammu dan berjalanlah". Itu berarti ia harus membuang jauh-jauh tilam yang selama ini membuat ia menderita. Sekarang ia segera bebas dari segala penderitaan, dan kebebasannya merupakan kebebasan yang bertanggung jawab. Peristiwa di tepi kolam Betesda sudah berlalu, orang yang lumpuh itupun sudah sembuh. Namun saudara, tahukah anda bahwa hari ini banyak orang-orang percaya masih menciptakan Betesda-Betesda baru? Sebagai orang percaya, bukankah kita sudah diselamatkan oleh Tuhan Yesus? Kita ibaratnya orang lumpuh yang berada di tepi kolam, sudah tidak ada pengharapan lagi. Namun Yesus datang, seakan-akan kita diterjunkan ke kolam dan sembuh. Harus diingat semua itu bukan jasa kita .
Hari ini masih banyak saudara, tetangga, dan teman-teman kita yang masih di "tepi kolam". Mereka sedang menanti dan menanti terus, sementara itu tidak pernah ada tangan yang datng menolong. Mengapa? Sebab tatkala kita ketemu mereka, bukan berita Injil yang kita ceritakan, tetapi masalah film, belanja (shopping), pesta dan lain-lain. Lain halnya denganYesus, Ia tidak demikian, tetapi Yesus memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang Dia temui. Yesus memperhatikan mereka yang tidak diperhatikan.
Monday, April 9, 2012
HELLO AMERIKA
(sendiri datang sendiri rasa)
Saya sering mendapat pertanyaan yang sama melalui email dari orang-orang Indonesia tentang bagaimana caranya datang ke Amerika Serikat? Bagaimana mendapatkan Visa? Apakah bisa dibantu? Bagaimana mendapatkan pekerjaan? Tentu saya tidak bisa Bantu apa-apa, kecuali memberikan informasi saja tentang keadaan dan situasi yang saya ketahui di sini. Maaf, sekali lagi kalau artikel sederhana ini ditulis bukan karena saya ahli di dalam hal ini. Saya juga bukan ahli psikologi seperti apa yang ditanya oleh salah seorang sahabat di dalam sebuah milis Kristen..
Supaya saya tidak kelabakan menjawab berulang-ulang, maka saya coba menulis di dalam artikel kecil ini, mudah-mudahan anda yang membaca dapat memahaminya. Ingat kawan, artikel ini tidak sempurna, kepada teman-teman yang lebih mengetahui dari saya, tolong dikoreksi atau ditambahkan, supaya tulisan ini lebih sempurna sedikit dan boleh jadi bahan informasi yang baik bagi mereka yang membutuhkan.
Sewaktu keponakan saya yang sedang sekolah di Taiwan, ia bertanya pada saya bahwa apakah dia boleh berkunjung ke Amerika? Ia pengin jalan-jalan ke sini. Maka jawaban saya engkau harus memiliki Visa terlebih dahulu, soal uang tiket kita bisa usahakan nanti, ntah dengan menabung, membuka celengan dan sebagainya. Benar sekali, ia mengambil waktu libur satu hari untuk mengurus Visa di Taipei, dan ia diberikan Visa untuk jangka waktu 5 tahun. Ia merasa senang sekali, dan ia bercita-cita suatu hari kalau sudah mengumpulkan uang ia mau melancong ke Amerika.
Seperti yang kita ketahui, untuk datang ke Amerika bukan sekadar kita memiliki uang atau passport, tetapi kita juga memerlukan Visa, seperti layaknya kita berkunjung ke Negara lain. Masalahnya timbul karena ternyata untuk mendapatkan Visa Amerika ini belakangan agak sulit. Selain ada syarat-syaratnya juga beberapa tahun terakhir ini khususnya semenjak peristiwa 911 memang Amerika memberlakukan penyeleksian yang super ketat terhadap imigran yang hendak berkunjung ke negaranya.
Selain mereka waspada, juga karena banyaknya orang-orang asing yang masuk ke Amerika dengan tujuan bekerja. Itu sebabnya khusus bagi mereka yang laki-laki dibawah umur 50 tahun, memerlukan satu bulan untuk penyelidikan diri di Amerika terlebih dahulu baru dikeluarkan Visanya. Sebenarnya yang namanya orang asing yang hendak kerja di Luar Negeri maka mereka memerlukan Working Permit, sama seperti mereka yang dari Luar Negeri hendak kerja di Indonesia juga memerlukan Visa selain itu juga Surat Ijin Kerja.
Untuk mendapatkan Visa Amerika itu maka seorang Warga Negara perlu mengajukan permohonan ke Konsulat Amerika, khususnya kalau di Indonesia alamat Konsulatnya terletak di Jakarta Surabaya dan Bali Apabila anda berdomisili di Sumatera dan Jawa Barat, maka alamat konsulatnya di Jakarta, apabila anda di Surabaya dan Indonesia Timur, maka alamat Konsulatnya di Surabaya, sementara yang di Bali saya tidak ingat jelas, kemungkinan bagi mereka yang berdomisi di Bali dan Lombok. Atau anda juga bisa juga kunjungi Websitenya http://www.usembassyjakarta.org/surabaya/
Syarat-syarat seseorang mengajukan Visa seperti yang tercantum di dalam Website antara lain:
1.Harus ada paspor yang masih berlaku
2. Foto ukuran 5 cm x 5 cm dengan gambar kepala di pusat
foto. Gambar kepala (dari ujung rambut hingga ujung bawah dagu) harus berukuran antara 25 mm - 35 mm dengan ketinggian mata antara 28 mm - 35 mm dari dasar foto. Foto yang diambil harus 6 bulan terakhir, dan dilekatkan di formulir dengan cara melengketkan saja, tidak boleh di stapless. Foto harus menunjukkan wajah sepenuhnya, dan pemohon menghadap ke kamera langsung. Pemohon visa tidak boleh menghadap ke bawah atau ke samping, dan gambar wajahnya harus meliputi kira-kira 50 persen dari seluruh foto. Foto dari sisi atau menghadap miring TIDAK dapat diterima. Foto boleh berwarna atau hitam-putih, tetapi harus berlatar belakang putih atau putih gading. Foto dengan latar belakang gelap, "ramai", atau berpola tidak diterima. Pada umumnya, gambar kepala pemohon, termasuk wajah dan rambut, harus terlihat dari ujung kepala sampai ujung dagu, dan dari garis rambut satu sisi ke sisi lain. Kedua telinga harus terlihat. Penutup kepada dan topi hanya dapat diterima bila dipakai karena alasan keagamaan, dan dalam hal itu, tidak boleh menutup sebagian dari wajah pemohon. Kacamata hitam atau benda lain yang menutup wajah tidak dapat diterima, kecuali diperlukan untuk alasan kesehatan (misalnya penutup sebelah mata yang luka/cacat). Foto yang menggambarkan seseorang yang memakai kerudung wajah yang tidak memungkinkan identifikasi tidak dapat diterima. Foto anggota militer, karyawan airline atau kantor lain yang memakai topi tidak dapat diterima. Foto pemohon visa memakai baju daerah, baju nasional, atau penutup kepala lain yang bukan bersifat keagamaan tidak dapat diterima 3. Harus memiliki Surat Rumah Tangga sesuai dengan alamat KTP anda 4. Membayar uang aplikasi, kalau tidak salah Rp.1.000.000,00 5. Si pemohon harus datang sendiri ke kantor Konsulat, tidak boleh diwakilkan ke orang lain. 6. Karena perubahan yang berlaku sejak penyerangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, sejak tanggal 22 Juli 2002, permohonan visa untuk pemohon visa tertentu akan memerlukan waktu proses yang tidak tertentu. Pemohon visa akan diberitahu bila visanya sudah dapat diambil, dan telpon ke Konsulat untuk menanyakan status permohonan visa tidak akan dilayani. Orang- orang yang memerlukan visa untuk perjalanan ke Amerika Serikat sebaiknya tidak merencanakan perjalanan sampai mereka sudah menerima visa. 7. Selain itu kita juga harus memberitahu alamat yang bakal kita tuju di Amerika, kalau yang ikut tour, sertakan route perjalanan anda. Visa yang diberikan itu adalah adalah Visa kunjungan (B1 atau B2). Belakangan memang Visa tersebut berlakunya cukup pendek, ada yang diberikan hanya untuk 3 bulan, ada yang 1 tahun dan yang paling lama 5 tahun. Saya pernah kenalan dengan seorang pemuda orang Hongkong , ia mendapat Visa yang 10 tahun, namun sepengetahuan saya mereka yang di Indonesia mendapatkan Visa yang paling lama 5 tahun. Nah, biasanya yang tiga bulan itu adalah visa untuk sekali kunjungan, sedangan yang 1 tahun atau lebih, itu berlaku multiple entry untuk kunjungan ke USA
. Sering yang menjadi salah pengertian dari mereka yang belum pernah berkunjung ke Amerika, mereka berpikir kalau Visa yang diperoleh 5 tahun itu berarti boleh tinggal di Amerika 5 tahun juga? Ternyata tidak demikian, setiap orang yang masuk ke US, pihak imigrasi yang namanya Immmigrant Naturalization Service (INS) akan memberikan ijin tinggal kepada kita, paling lama 6 bulan, artinya kita hanya boleh tinggal di Amerika hanya dalam jangka waktu itu, nah untuk melanjutkan ijinnya kita harus mengajukan permohonan perpanjang, dan dengan membayar uang jaminan.
Setelah 911, untuk kaum pria yang mau masuk Amerika, pemerikasaannya cukup ketat, selain diadakan wawancara juga diambil foto dan sidik jari, dengan demikian diusahakan menghindari mereka yang coba masuk dengan cara yang tidak benar. Sebenarnya tidak sulit untuk diwawancara, karean yang ditanay adalah data kita sendiri. Yang menjadi maslah adalah kalau mereka yang bernama Acong, bisa berubah nama menjadi nama lain, misalnya Jansen atau John, itu sebabnya jangan heran sewaktu diwawancara mereka sulit menjawab pertanyaan, penafsiran saya adalah mereka itu sudah menjadi orang lain, sehingga untuk tanggal dan tempat lahir saja harus dihafal, belum lagi data-data yang lain.
Jangka waktu Visa yang tertulis di paspor kita itu merupakan jangka waktu berlakunya Visa masuk ke Amerika, apabila kita sudah masuk ke Amerika, yang paling penting adalah ijin tinggalnya, yang tadi dikeluarkan oleh INS itu yang disebut I-94, apabila kita melewati batas waktu yang ditulis, tanpa melapor atau meperpanjangnya , maka kita akan menjadi orang yang illegal di Amerika.
Selain itu ada juga Visa untuk tunangan, misalnya kalau anda mempunyai tunangan warga Amerika, maka anda dapat mengajukan visa yang disebut K-1, biasanya setelah menikah dua tahun dan menetap di Amerika, anda berhak mengajukan Green Card, dan setelah medapat Green Card 5 tahun dapat mengajukan menjadi citizen atau warga Negara Amerika.
Kalau bagi yang sekolah di Amerika lain lagi persyaratannya, mereka harus lulus dulu toefl atau yang sejenisnya, kemudian melamarkan ke sekolah yang dituju. Setelah diterima oleh sekolah, maka mereka bakal mendapat surat yang disebut I-20, nah berdasarkan surat tersebut mereka melamar visa pelajar (student), Visa student itu disebut F1. Setiap mahasiswa yang sudah tamat diberi ijin untuk kerja resmi di sini selama setahun. Apabila perusahaan hendak meneruskan mempekerjakannya, maka merka harus mengajukan Visa H1 untuknya. Tentunya dengan gajinya yang sesuai batas State, perusahaan itu menjamin untuk Visa kerjanya. Visa kerja ini hanya berlaku pada saat perusahaan itu memperkerjakan dia, begitu ia mundur dari pekerjaan itu atau dipecat, maka dalam jangka waktu tertentu (1 atau 2 bulan) Visa itu segera berakhir. Apabila sampai batas waktu itu, orang tersebut tidak mendapat pekerjaan, maka pemegang Visa H1 harus meninggalkan Amerika, kalau tidak statusnya akan menjadi illegal.
Sebagai hamba Tuhan, visa yang dipakai adalah visa R-1, nah visa R-1 ini adalah Visa Religious Worker, yang dipergunakan untuk pelayanan di bidang Agama. Biasanya Visa ini berlaku 3 tahun dan boleh diperpanjang satu kali. Selanjutnya untuk kategori Visa-visa yang lain , kita dapat melihatnya di dalam Website yakni http://www.usembassyjakarta.org/surabaya/index.php?option=content&task=view&id=29&catid=25&Itemid=38 Siapa saja yang boleh bekerja di Amerika? Tidak semua orang boleh bekerja di Amerika? Mereka yang datang dengan Visa tour (B1-B2) sudah jelas tidak boleh bekerja. Namun di state tertertu ada saja mereka secara diam-diam berkerja, nah ini termasuk pekerja illegal. Apalagi orang-orang yang memang nekad, secara terus menetap di Amerika tanpa status yang jelas, sehingga ia menjadi pekerja yang illegal pula.
Biasanya mereka yang mendapat visa F1, H1 , R1 dan juga K1 sesudah masuk Amerika, mereka boleh mengaplikasi Social Security Number, kemudian dilanjutkan dengan membuat ID (semacam KTP) dan juga Driver Licence (SIM). Namun yang diijinkan bekerja adalah pemegang Visa kerja (H1), untuk mahasiswa mereka hanya boleh kerja di kampus, dengan jam kerja maksimum yang tidak boleh menggangu belajarnya.
Yang lebih terjamin adalah mereka pemegang Green card, sebab mereka sudah mempunyai hak yang hampir sama dengan Warga Amerika, kecuali dalam hal vote mereka masih belum memiliki hak tersebut. Untuk mendapat Green Card juga ada berbagai cara, misalnya dengan mengikuti lotere Green Card yang diselenggrakan pemerintah Amerika setahun sekali, disponsori oleh pasangan nikahnya, atau oleh perusahaan tempat kerjanya. Mereka yang memiliki Green Card semestinya harus tetap tinggal di Amerika paling sedikit 6-7 bulan, namun saya pernah melihat ada saja orang-orang Indonesia dengan berbagai cara dapat tetap eksis dengan Green Cardnya, padahal hanya tinggal di sini dalam jangka setahun hanya satu atau dua bulan. Namun semua ini punya resiko sendiri, sebab saya kenal ada seseorang yang sudah memiliki Green Card, namun karena beliau sudah lama tidak masuk kembali ke Amerika, lalu suatu hari ketika ia berkunjung ke Amerika, Green Cardnya dicabut. Kemudian sesudah beberapa tahun ia mengaplikasi kembali Green Cardnya, namun tetap saja belum mendapatkannya.
Sejak peristiwa 1998 di mana adanya masalah diskriminasi atau kerusuhan di Indonesia, terutama Jakarta dan beberapa kota lainnya, maka banyak sekali orang-orang Indonesia yang mengadu nasib ke Amerika, sebagian mereka langsung mengajukan suaka politik (Asylum).Ada cukup banyak orang yang sudah diterima aplikasinya namun kalau yang ditolak maka mereka harus segera meninggalkan Amerika atau tetap di sini, tetapi statusnya illegal. Memang tahun 2004 yang lalu di Virginia terbongkar kasus, ada satu organisai yang memalsukan surat-surat pengajuan Asylum, sehingga membuat ribuan orang Indonesia ketakutan, mereka ada yang segera pulang ke Indonesia, ada yang ke Canada, yang lain surat aplikasinya batal dan mengulang dari awal, bahkan saya dengar ada yang ditangkap. Hal semacam ini yang menjadikan pemerintah Amerika untuk selanjutnya memperketat mengabulkan pengajuan permohonan Asylum ini. Tetapi ada kabar gembira beberapa bulan belakangan ini, sudah banyak orang yang menerima Green Card via Asylum. Namun perlu diketahui mereka yang mendapatkan Green Card via Asylum tidak diperkenankan kembali ke Negara asal, dan kedutaan Indonesioa di Amerika juga tidak mengelaurkan passport bagi mereka.
Proses untuk mendapatkan Permanent Residen (Green Card ) di Amerika juga perlu proses tersendiri, tadi kita aktakan ada yang melalui Asylum, ada yang melalui pengunsian karaena bencara Tsunami, ada lagi karena pernikahan. Selain itu karena pekerjaan di sini dan di sponsori oleh perusahaan, atau sebagi rohaniwan yang di sponsori oleh pihak gereja. Keistimewaan bagi para janda dan rohaniwan di sini di sebut sebagi special imigran, jadi kalau merka sudha dua tahun di sini, merek bisa mengjaukan sendiri tanpa diponsori oleh orang lain. Karena prosesnya cukup lama, maka rupanya pemerintah sedang mengupayakan agar prosesnya dapat dipercepat, namun biayanya menjadi sangat mahal. Bayangkan saja, untuk apply Green Card mestinya $ 335 rencana hendak dinaikkan menjadi $ 905 per orang. (Berita Feb 1 , 07, Mercury News)
Mendapatkan pekerjaan di Amerika juga tidak gampang. Menurut penuturan salah seorang rekan, sebelum krisis ekonomi, perusahaan masih terbuka banyak, namun ketika krisis ekonomi ditambah dengan peristiwa 911, maka banyak perusahaan yang tutup atau mengalihkannya ke negara lain misalnya ke Taiwan atau ke India, biaya produksi dan tenaga kerja di sana lebih murah. Sebagian perusahaan lagi mengadakan merger, sehingga ada banyak departemen yang digabungkan, secara otomatis tenaga manusianya kelebihan, dan yang kelebihan itu mau tidak mau harus di pecat. Dengan demikian banyak orang yang menjadi pengangguran, termasuk di dalamnya orang-orang Indonesia.
Dengan kondisi yang demikian ini, maka sangat sulit untuk mencari pekerjaan yang sesuai level pendidikannya, itu sebabnya ada diantara mereka yang kerjanya hanya di restoran atau pabrik, padahal mereka adalah orang-orang berpendidikan. Pemecatan di sini kadang dilakukan dengan cara yang sangat kejam, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, pagi-pagi masuk ke kantor, semua kunci kantor diminta, dan gajinya dibayar, dengan pesan singkat besok tidak perlu datang lagi. Kalau tidak kuat mental, bisa pinsan mendadak. Saya masih ingat, perusahaan di Indonesia bahkan ada yang sungkan memberhentikan pegawainya, sebaliknya di sini, tidak ada istilah sungkannya.
Bulan Mei 2005 yang lalu saya berkesempatan melayani di Philadelphia, ada banyak keunikan yang saya temukan di sana, yang mana banyak sekali orang ?orang Indonesianya yang tinggal secara berdekatan di satu daerah, jadi kalau anda ke sana, pasti lupa bahwa sedang berada di Amerika. Kebanyakan mereka sewaktu di Indonesia adalah orang-orang yang cukup punya, namun karena kondisi mendesak dan didorong dengan keinginan untuk mempertahankan masa depan, di tambah lagi kerusuhan tahun 1998, maka banyak sekali mereka saat ini menetap di Amerika, secara khusus di kota Philadelphia dan juga kota-kota sekitarnya seperti New York dan New Jersey, selain itu di Los Angeles juga banyak terdapat orang-orang Indonesia. Namun karena tidak dibarengi dengan pendidikan yang cukup, ditambah lagi surat-surat yang belum lengkap, maka sebagian mereka tidak dapat bekerja selayaknya dengan level pendidikannya, sehinga tidak ada pilihan lain, mereka harus kerja kasar, misalnya di pabrik-pabrik.
Hari ini kebetulan saya coba telepon salah seorang teman yang baru beberapa bulan kerja di Amerika, beliau tidak di rumah karena kerjanya dari mulai jam 7 malam sampai jam 5 pagi, saya melihat kerasnya kehidupan di Amerika ini. Bukan masalah kerja malamnya, di Indonesia juga ada yang kerjanya pada malam hari. Tetapi yang menjadi inti persoalan adalah, karena desakan dan dorongan supaya lebih cepat mengumpulkan uang yang banyak, sehingga bekerja tanpa memikirkan kesehatan diri sendiri. Tidak jarang saya mendengar keluhan sebagian mereka yang masih usia muda, namun kaki senantiasa sakit-sakitan.
Bagaimana meningkatkan diri kita di Negara Amerika ini? Salah satu kelebihan Negara Amerika ini adalah setiap orang diwajibkan sekolah, itu sebabnya setiap sekolah yang didirikan pemerintah (public School) tidak memungut biaya; dengan demikian tentunya hasil uang masuk dari pekerjaan kita yang semestinya untuk membayar uang sekolah, dapat dipergunakan untuk kebutuhan yang lain. Bukan hanya anak-anak saja yang boleh mengecap pendidikan gratis di Amerika, tetapi mereka yang sudah dewasa juga. Di setiap distrik terdapat berbagai jurusan sekolah yang dapat mendidik kita menjadi lebih trampil, melalui sekolah ESL (English Second Language) untuk Adult yang biasanya disebut Adult School, sampai belajar computer. Dengan demikian diharapkan masa depan seseorang itu dapat lebih cerah dengan mengecap pendidikan, dan diharapan juga supaya mendapat pekerjaan yang lebih layak.
Beberapa orang yang saya kenal, mereka dengan gigih sekolah di sini, kemudian mereka memperoleh licence untuk bidang pekerjaan tertentu, demikian maka kesejahteraan hidup mereka makin hari makin meningkat. Apabila taraf kehidupan sudah mulai meningkat tentu ada tabungan uang untuk membeli rumah, sehingga seseorang itu dapat lebih leluasa hidup di Negara Amerika.
Kondisi di Amerika juga sangat berbeda dengan Indonesia , ada orang bilang Indonesia itu adalah Surga. Mengapa mereka katakan demikian? Di Indonesia kita memiliki pembantu dan pegawai yang banyak. Boleh dibilang untuk yang disebut masalah kebersihan rumah dan cuci pakaian bukan urusan kita, namun mereka yang tinggal di Amerika tidak dari berbuat demikian, kecuali memang orangnya kaya sekali. Demikianlah sekilas informasi saya tentang Amerika ini, saya harap tulisan ini dapat sedikit membuka wawasan bagi anda. Saya sengaja ambil waktu menulis ini, mengingat kebutuhan beberapa teman-teman di Indonesia selalu bertanya via email, jadi melalui artikel ini sekalian sudah menjawab pertanyaan anda.
*) Penulis adalah pendeta Gereja Indonesia San Francisco dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com .
(sendiri datang sendiri rasa)
Saya sering mendapat pertanyaan yang sama melalui email dari orang-orang Indonesia tentang bagaimana caranya datang ke Amerika Serikat? Bagaimana mendapatkan Visa? Apakah bisa dibantu? Bagaimana mendapatkan pekerjaan? Tentu saya tidak bisa Bantu apa-apa, kecuali memberikan informasi saja tentang keadaan dan situasi yang saya ketahui di sini. Maaf, sekali lagi kalau artikel sederhana ini ditulis bukan karena saya ahli di dalam hal ini. Saya juga bukan ahli psikologi seperti apa yang ditanya oleh salah seorang sahabat di dalam sebuah milis Kristen..
Supaya saya tidak kelabakan menjawab berulang-ulang, maka saya coba menulis di dalam artikel kecil ini, mudah-mudahan anda yang membaca dapat memahaminya. Ingat kawan, artikel ini tidak sempurna, kepada teman-teman yang lebih mengetahui dari saya, tolong dikoreksi atau ditambahkan, supaya tulisan ini lebih sempurna sedikit dan boleh jadi bahan informasi yang baik bagi mereka yang membutuhkan.
Sewaktu keponakan saya yang sedang sekolah di Taiwan, ia bertanya pada saya bahwa apakah dia boleh berkunjung ke Amerika? Ia pengin jalan-jalan ke sini. Maka jawaban saya engkau harus memiliki Visa terlebih dahulu, soal uang tiket kita bisa usahakan nanti, ntah dengan menabung, membuka celengan dan sebagainya. Benar sekali, ia mengambil waktu libur satu hari untuk mengurus Visa di Taipei, dan ia diberikan Visa untuk jangka waktu 5 tahun. Ia merasa senang sekali, dan ia bercita-cita suatu hari kalau sudah mengumpulkan uang ia mau melancong ke Amerika.
Seperti yang kita ketahui, untuk datang ke Amerika bukan sekadar kita memiliki uang atau passport, tetapi kita juga memerlukan Visa, seperti layaknya kita berkunjung ke Negara lain. Masalahnya timbul karena ternyata untuk mendapatkan Visa Amerika ini belakangan agak sulit. Selain ada syarat-syaratnya juga beberapa tahun terakhir ini khususnya semenjak peristiwa 911 memang Amerika memberlakukan penyeleksian yang super ketat terhadap imigran yang hendak berkunjung ke negaranya.
Selain mereka waspada, juga karena banyaknya orang-orang asing yang masuk ke Amerika dengan tujuan bekerja. Itu sebabnya khusus bagi mereka yang laki-laki dibawah umur 50 tahun, memerlukan satu bulan untuk penyelidikan diri di Amerika terlebih dahulu baru dikeluarkan Visanya. Sebenarnya yang namanya orang asing yang hendak kerja di Luar Negeri maka mereka memerlukan Working Permit, sama seperti mereka yang dari Luar Negeri hendak kerja di Indonesia juga memerlukan Visa selain itu juga Surat Ijin Kerja.
Untuk mendapatkan Visa Amerika itu maka seorang Warga Negara perlu mengajukan permohonan ke Konsulat Amerika, khususnya kalau di Indonesia alamat Konsulatnya terletak di Jakarta Surabaya dan Bali Apabila anda berdomisili di Sumatera dan Jawa Barat, maka alamat konsulatnya di Jakarta, apabila anda di Surabaya dan Indonesia Timur, maka alamat Konsulatnya di Surabaya, sementara yang di Bali saya tidak ingat jelas, kemungkinan bagi mereka yang berdomisi di Bali dan Lombok. Atau anda juga bisa juga kunjungi Websitenya http://www.usembassyjakarta.org/surabaya/
Syarat-syarat seseorang mengajukan Visa seperti yang tercantum di dalam Website antara lain:
1.Harus ada paspor yang masih berlaku
2. Foto ukuran 5 cm x 5 cm dengan gambar kepala di pusat
foto. Gambar kepala (dari ujung rambut hingga ujung bawah dagu) harus berukuran antara 25 mm - 35 mm dengan ketinggian mata antara 28 mm - 35 mm dari dasar foto. Foto yang diambil harus 6 bulan terakhir, dan dilekatkan di formulir dengan cara melengketkan saja, tidak boleh di stapless. Foto harus menunjukkan wajah sepenuhnya, dan pemohon menghadap ke kamera langsung. Pemohon visa tidak boleh menghadap ke bawah atau ke samping, dan gambar wajahnya harus meliputi kira-kira 50 persen dari seluruh foto. Foto dari sisi atau menghadap miring TIDAK dapat diterima. Foto boleh berwarna atau hitam-putih, tetapi harus berlatar belakang putih atau putih gading. Foto dengan latar belakang gelap, "ramai", atau berpola tidak diterima. Pada umumnya, gambar kepala pemohon, termasuk wajah dan rambut, harus terlihat dari ujung kepala sampai ujung dagu, dan dari garis rambut satu sisi ke sisi lain. Kedua telinga harus terlihat. Penutup kepada dan topi hanya dapat diterima bila dipakai karena alasan keagamaan, dan dalam hal itu, tidak boleh menutup sebagian dari wajah pemohon. Kacamata hitam atau benda lain yang menutup wajah tidak dapat diterima, kecuali diperlukan untuk alasan kesehatan (misalnya penutup sebelah mata yang luka/cacat). Foto yang menggambarkan seseorang yang memakai kerudung wajah yang tidak memungkinkan identifikasi tidak dapat diterima. Foto anggota militer, karyawan airline atau kantor lain yang memakai topi tidak dapat diterima. Foto pemohon visa memakai baju daerah, baju nasional, atau penutup kepala lain yang bukan bersifat keagamaan tidak dapat diterima 3. Harus memiliki Surat Rumah Tangga sesuai dengan alamat KTP anda 4. Membayar uang aplikasi, kalau tidak salah Rp.1.000.000,00 5. Si pemohon harus datang sendiri ke kantor Konsulat, tidak boleh diwakilkan ke orang lain. 6. Karena perubahan yang berlaku sejak penyerangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, sejak tanggal 22 Juli 2002, permohonan visa untuk pemohon visa tertentu akan memerlukan waktu proses yang tidak tertentu. Pemohon visa akan diberitahu bila visanya sudah dapat diambil, dan telpon ke Konsulat untuk menanyakan status permohonan visa tidak akan dilayani. Orang- orang yang memerlukan visa untuk perjalanan ke Amerika Serikat sebaiknya tidak merencanakan perjalanan sampai mereka sudah menerima visa. 7. Selain itu kita juga harus memberitahu alamat yang bakal kita tuju di Amerika, kalau yang ikut tour, sertakan route perjalanan anda. Visa yang diberikan itu adalah adalah Visa kunjungan (B1 atau B2). Belakangan memang Visa tersebut berlakunya cukup pendek, ada yang diberikan hanya untuk 3 bulan, ada yang 1 tahun dan yang paling lama 5 tahun. Saya pernah kenalan dengan seorang pemuda orang Hongkong , ia mendapat Visa yang 10 tahun, namun sepengetahuan saya mereka yang di Indonesia mendapatkan Visa yang paling lama 5 tahun. Nah, biasanya yang tiga bulan itu adalah visa untuk sekali kunjungan, sedangan yang 1 tahun atau lebih, itu berlaku multiple entry untuk kunjungan ke USA
. Sering yang menjadi salah pengertian dari mereka yang belum pernah berkunjung ke Amerika, mereka berpikir kalau Visa yang diperoleh 5 tahun itu berarti boleh tinggal di Amerika 5 tahun juga? Ternyata tidak demikian, setiap orang yang masuk ke US, pihak imigrasi yang namanya Immmigrant Naturalization Service (INS) akan memberikan ijin tinggal kepada kita, paling lama 6 bulan, artinya kita hanya boleh tinggal di Amerika hanya dalam jangka waktu itu, nah untuk melanjutkan ijinnya kita harus mengajukan permohonan perpanjang, dan dengan membayar uang jaminan.
Setelah 911, untuk kaum pria yang mau masuk Amerika, pemerikasaannya cukup ketat, selain diadakan wawancara juga diambil foto dan sidik jari, dengan demikian diusahakan menghindari mereka yang coba masuk dengan cara yang tidak benar. Sebenarnya tidak sulit untuk diwawancara, karean yang ditanay adalah data kita sendiri. Yang menjadi maslah adalah kalau mereka yang bernama Acong, bisa berubah nama menjadi nama lain, misalnya Jansen atau John, itu sebabnya jangan heran sewaktu diwawancara mereka sulit menjawab pertanyaan, penafsiran saya adalah mereka itu sudah menjadi orang lain, sehingga untuk tanggal dan tempat lahir saja harus dihafal, belum lagi data-data yang lain.
Jangka waktu Visa yang tertulis di paspor kita itu merupakan jangka waktu berlakunya Visa masuk ke Amerika, apabila kita sudah masuk ke Amerika, yang paling penting adalah ijin tinggalnya, yang tadi dikeluarkan oleh INS itu yang disebut I-94, apabila kita melewati batas waktu yang ditulis, tanpa melapor atau meperpanjangnya , maka kita akan menjadi orang yang illegal di Amerika.
Selain itu ada juga Visa untuk tunangan, misalnya kalau anda mempunyai tunangan warga Amerika, maka anda dapat mengajukan visa yang disebut K-1, biasanya setelah menikah dua tahun dan menetap di Amerika, anda berhak mengajukan Green Card, dan setelah medapat Green Card 5 tahun dapat mengajukan menjadi citizen atau warga Negara Amerika.
Kalau bagi yang sekolah di Amerika lain lagi persyaratannya, mereka harus lulus dulu toefl atau yang sejenisnya, kemudian melamarkan ke sekolah yang dituju. Setelah diterima oleh sekolah, maka mereka bakal mendapat surat yang disebut I-20, nah berdasarkan surat tersebut mereka melamar visa pelajar (student), Visa student itu disebut F1. Setiap mahasiswa yang sudah tamat diberi ijin untuk kerja resmi di sini selama setahun. Apabila perusahaan hendak meneruskan mempekerjakannya, maka merka harus mengajukan Visa H1 untuknya. Tentunya dengan gajinya yang sesuai batas State, perusahaan itu menjamin untuk Visa kerjanya. Visa kerja ini hanya berlaku pada saat perusahaan itu memperkerjakan dia, begitu ia mundur dari pekerjaan itu atau dipecat, maka dalam jangka waktu tertentu (1 atau 2 bulan) Visa itu segera berakhir. Apabila sampai batas waktu itu, orang tersebut tidak mendapat pekerjaan, maka pemegang Visa H1 harus meninggalkan Amerika, kalau tidak statusnya akan menjadi illegal.
Sebagai hamba Tuhan, visa yang dipakai adalah visa R-1, nah visa R-1 ini adalah Visa Religious Worker, yang dipergunakan untuk pelayanan di bidang Agama. Biasanya Visa ini berlaku 3 tahun dan boleh diperpanjang satu kali. Selanjutnya untuk kategori Visa-visa yang lain , kita dapat melihatnya di dalam Website yakni http://www.usembassyjakarta.org/surabaya/index.php?option=content&task=view&id=29&catid=25&Itemid=38 Siapa saja yang boleh bekerja di Amerika? Tidak semua orang boleh bekerja di Amerika? Mereka yang datang dengan Visa tour (B1-B2) sudah jelas tidak boleh bekerja. Namun di state tertertu ada saja mereka secara diam-diam berkerja, nah ini termasuk pekerja illegal. Apalagi orang-orang yang memang nekad, secara terus menetap di Amerika tanpa status yang jelas, sehingga ia menjadi pekerja yang illegal pula.
Biasanya mereka yang mendapat visa F1, H1 , R1 dan juga K1 sesudah masuk Amerika, mereka boleh mengaplikasi Social Security Number, kemudian dilanjutkan dengan membuat ID (semacam KTP) dan juga Driver Licence (SIM). Namun yang diijinkan bekerja adalah pemegang Visa kerja (H1), untuk mahasiswa mereka hanya boleh kerja di kampus, dengan jam kerja maksimum yang tidak boleh menggangu belajarnya.
Yang lebih terjamin adalah mereka pemegang Green card, sebab mereka sudah mempunyai hak yang hampir sama dengan Warga Amerika, kecuali dalam hal vote mereka masih belum memiliki hak tersebut. Untuk mendapat Green Card juga ada berbagai cara, misalnya dengan mengikuti lotere Green Card yang diselenggrakan pemerintah Amerika setahun sekali, disponsori oleh pasangan nikahnya, atau oleh perusahaan tempat kerjanya. Mereka yang memiliki Green Card semestinya harus tetap tinggal di Amerika paling sedikit 6-7 bulan, namun saya pernah melihat ada saja orang-orang Indonesia dengan berbagai cara dapat tetap eksis dengan Green Cardnya, padahal hanya tinggal di sini dalam jangka setahun hanya satu atau dua bulan. Namun semua ini punya resiko sendiri, sebab saya kenal ada seseorang yang sudah memiliki Green Card, namun karena beliau sudah lama tidak masuk kembali ke Amerika, lalu suatu hari ketika ia berkunjung ke Amerika, Green Cardnya dicabut. Kemudian sesudah beberapa tahun ia mengaplikasi kembali Green Cardnya, namun tetap saja belum mendapatkannya.
Sejak peristiwa 1998 di mana adanya masalah diskriminasi atau kerusuhan di Indonesia, terutama Jakarta dan beberapa kota lainnya, maka banyak sekali orang-orang Indonesia yang mengadu nasib ke Amerika, sebagian mereka langsung mengajukan suaka politik (Asylum).Ada cukup banyak orang yang sudah diterima aplikasinya namun kalau yang ditolak maka mereka harus segera meninggalkan Amerika atau tetap di sini, tetapi statusnya illegal. Memang tahun 2004 yang lalu di Virginia terbongkar kasus, ada satu organisai yang memalsukan surat-surat pengajuan Asylum, sehingga membuat ribuan orang Indonesia ketakutan, mereka ada yang segera pulang ke Indonesia, ada yang ke Canada, yang lain surat aplikasinya batal dan mengulang dari awal, bahkan saya dengar ada yang ditangkap. Hal semacam ini yang menjadikan pemerintah Amerika untuk selanjutnya memperketat mengabulkan pengajuan permohonan Asylum ini. Tetapi ada kabar gembira beberapa bulan belakangan ini, sudah banyak orang yang menerima Green Card via Asylum. Namun perlu diketahui mereka yang mendapatkan Green Card via Asylum tidak diperkenankan kembali ke Negara asal, dan kedutaan Indonesioa di Amerika juga tidak mengelaurkan passport bagi mereka.
Proses untuk mendapatkan Permanent Residen (Green Card ) di Amerika juga perlu proses tersendiri, tadi kita aktakan ada yang melalui Asylum, ada yang melalui pengunsian karaena bencara Tsunami, ada lagi karena pernikahan. Selain itu karena pekerjaan di sini dan di sponsori oleh perusahaan, atau sebagi rohaniwan yang di sponsori oleh pihak gereja. Keistimewaan bagi para janda dan rohaniwan di sini di sebut sebagi special imigran, jadi kalau merka sudha dua tahun di sini, merek bisa mengjaukan sendiri tanpa diponsori oleh orang lain. Karena prosesnya cukup lama, maka rupanya pemerintah sedang mengupayakan agar prosesnya dapat dipercepat, namun biayanya menjadi sangat mahal. Bayangkan saja, untuk apply Green Card mestinya $ 335 rencana hendak dinaikkan menjadi $ 905 per orang. (Berita Feb 1 , 07, Mercury News)
Mendapatkan pekerjaan di Amerika juga tidak gampang. Menurut penuturan salah seorang rekan, sebelum krisis ekonomi, perusahaan masih terbuka banyak, namun ketika krisis ekonomi ditambah dengan peristiwa 911, maka banyak perusahaan yang tutup atau mengalihkannya ke negara lain misalnya ke Taiwan atau ke India, biaya produksi dan tenaga kerja di sana lebih murah. Sebagian perusahaan lagi mengadakan merger, sehingga ada banyak departemen yang digabungkan, secara otomatis tenaga manusianya kelebihan, dan yang kelebihan itu mau tidak mau harus di pecat. Dengan demikian banyak orang yang menjadi pengangguran, termasuk di dalamnya orang-orang Indonesia.
Dengan kondisi yang demikian ini, maka sangat sulit untuk mencari pekerjaan yang sesuai level pendidikannya, itu sebabnya ada diantara mereka yang kerjanya hanya di restoran atau pabrik, padahal mereka adalah orang-orang berpendidikan. Pemecatan di sini kadang dilakukan dengan cara yang sangat kejam, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, pagi-pagi masuk ke kantor, semua kunci kantor diminta, dan gajinya dibayar, dengan pesan singkat besok tidak perlu datang lagi. Kalau tidak kuat mental, bisa pinsan mendadak. Saya masih ingat, perusahaan di Indonesia bahkan ada yang sungkan memberhentikan pegawainya, sebaliknya di sini, tidak ada istilah sungkannya.
Bulan Mei 2005 yang lalu saya berkesempatan melayani di Philadelphia, ada banyak keunikan yang saya temukan di sana, yang mana banyak sekali orang ?orang Indonesianya yang tinggal secara berdekatan di satu daerah, jadi kalau anda ke sana, pasti lupa bahwa sedang berada di Amerika. Kebanyakan mereka sewaktu di Indonesia adalah orang-orang yang cukup punya, namun karena kondisi mendesak dan didorong dengan keinginan untuk mempertahankan masa depan, di tambah lagi kerusuhan tahun 1998, maka banyak sekali mereka saat ini menetap di Amerika, secara khusus di kota Philadelphia dan juga kota-kota sekitarnya seperti New York dan New Jersey, selain itu di Los Angeles juga banyak terdapat orang-orang Indonesia. Namun karena tidak dibarengi dengan pendidikan yang cukup, ditambah lagi surat-surat yang belum lengkap, maka sebagian mereka tidak dapat bekerja selayaknya dengan level pendidikannya, sehinga tidak ada pilihan lain, mereka harus kerja kasar, misalnya di pabrik-pabrik.
Hari ini kebetulan saya coba telepon salah seorang teman yang baru beberapa bulan kerja di Amerika, beliau tidak di rumah karena kerjanya dari mulai jam 7 malam sampai jam 5 pagi, saya melihat kerasnya kehidupan di Amerika ini. Bukan masalah kerja malamnya, di Indonesia juga ada yang kerjanya pada malam hari. Tetapi yang menjadi inti persoalan adalah, karena desakan dan dorongan supaya lebih cepat mengumpulkan uang yang banyak, sehingga bekerja tanpa memikirkan kesehatan diri sendiri. Tidak jarang saya mendengar keluhan sebagian mereka yang masih usia muda, namun kaki senantiasa sakit-sakitan.
Bagaimana meningkatkan diri kita di Negara Amerika ini? Salah satu kelebihan Negara Amerika ini adalah setiap orang diwajibkan sekolah, itu sebabnya setiap sekolah yang didirikan pemerintah (public School) tidak memungut biaya; dengan demikian tentunya hasil uang masuk dari pekerjaan kita yang semestinya untuk membayar uang sekolah, dapat dipergunakan untuk kebutuhan yang lain. Bukan hanya anak-anak saja yang boleh mengecap pendidikan gratis di Amerika, tetapi mereka yang sudah dewasa juga. Di setiap distrik terdapat berbagai jurusan sekolah yang dapat mendidik kita menjadi lebih trampil, melalui sekolah ESL (English Second Language) untuk Adult yang biasanya disebut Adult School, sampai belajar computer. Dengan demikian diharapkan masa depan seseorang itu dapat lebih cerah dengan mengecap pendidikan, dan diharapan juga supaya mendapat pekerjaan yang lebih layak.
Beberapa orang yang saya kenal, mereka dengan gigih sekolah di sini, kemudian mereka memperoleh licence untuk bidang pekerjaan tertentu, demikian maka kesejahteraan hidup mereka makin hari makin meningkat. Apabila taraf kehidupan sudah mulai meningkat tentu ada tabungan uang untuk membeli rumah, sehingga seseorang itu dapat lebih leluasa hidup di Negara Amerika.
Kondisi di Amerika juga sangat berbeda dengan Indonesia , ada orang bilang Indonesia itu adalah Surga. Mengapa mereka katakan demikian? Di Indonesia kita memiliki pembantu dan pegawai yang banyak. Boleh dibilang untuk yang disebut masalah kebersihan rumah dan cuci pakaian bukan urusan kita, namun mereka yang tinggal di Amerika tidak dari berbuat demikian, kecuali memang orangnya kaya sekali. Demikianlah sekilas informasi saya tentang Amerika ini, saya harap tulisan ini dapat sedikit membuka wawasan bagi anda. Saya sengaja ambil waktu menulis ini, mengingat kebutuhan beberapa teman-teman di Indonesia selalu bertanya via email, jadi melalui artikel ini sekalian sudah menjawab pertanyaan anda.
*) Penulis adalah pendeta Gereja Indonesia San Francisco dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com .
PENDETAKU DAN ANAK-ANAKNYA !!!
“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” (Efesus 6:4)
Menjadi anak pendeta bukan suatu pilihan, anda menginginkannyapun tidak pernah akan bisa, apalagi untuk menolaknya; kecuali kalau menjadi anak angkat pendeta mungkin sedikit gampang. Saya yakin bahwa kehadiran anak-anak pendeta itu sudah dirancang oleh Tuhan sebelumnya. Namun permisi tanya, apakah seorang anak pendeta juga harus menuruti panggilan seperti ayahnya sebagai “seorang pendeta”? Saya yakin anda pasti akan menjawabnya “tidak”. Namun sadarkah anda selama ini, bahwa banyak orang termasuk para jemaat yang “baik hati” menuntut kehidupan anak pendeta mesti seperti ayahnya? Baik kerohanian, sikap dan tingkah-laku serta segala-galanya harus sama seperti ayahnya.
Saya sendiri bukan anak pendeta, tetapi saya bisa merasakan bagaimana pedihnya ketika tuntutan yang diberikan oleh seorang jemaat, yang menghendaki anak-anak pendeta itu melebihi anak-anak lainnya. Anak pendeta harus lebih suci, lebih sopan, lebih sabar, lebih giat dan ya lebih segala-galanya. Memangnya anak pendeta itu manusia ajaib, sehingga ia dapat memenuhi tuntutan yang berat ini?
Sering kita mendengar bahwa ada anak pendeta itu nakal-nakal, saya kurang tahu apakah karena orang tuanya yang kurang pandai mendidik anaknya, atau karena kesibukan pelayanan orang tuanya sehingga anaknya kurang mendapat perhatian? Namun, semua ini sangat mempengaruhi pelayanan orang tuanya. Jemaat biasanya tanpa menyadari, hanya tinggal ngomong saja, “ Percuma, anak pendeta, perbuatannya seperti itu”, nama orang tuanya dibawa-bawa lagi. Padahal, kalau yang namanya anak, pasti ada saja “kenakalannya”.
Sadarkah anda bahwa tuntutan terhadap anak pendeta itu menjadi standard yang berlipat ganda, satu pihak dia sebagai orang Kristen, tuntutannya harus menjadi anak-anak Kristen yang baik dan lebih baik dari yang lainnya. Sekarang ia juga menyandang “gelar” anak pendeta, tuntutannya untuk kedua kalinya harus melebihi anak-anak Kristen lainnya. Inilah beban yang sering saya temukan di kalangan anak-anak pendeta.
Kadang pelayanan di gereja yang besar juga tidak menjamin segala-galanya. Apabila seorang pendeta melayani di gereja yang besar dan di kota besar, walaupun gajinya besar, maka tugas dan tanggung-jawabnya juga besar, tuntutannya juga besar, kesibukannya juga besar. Hampir setiap minggu ia harus berkotbah dan berulang kali, kemudian ada lagi pembesukan jemaat, rapat, retreat, pemberkatan nikah, konseling, Penguburan, dan sebagainya. Tugas-tugas harian tersebut sudah sangat menyita waktu, sehingga kadang kala ia tidak sempat memperhatikan anak-anaknya. Apalagi kalau sang isteri pendeta juga merangkap sebagai hamba Tuhan, kadang harus menangani sekolah Minggu atau komisi yang lain. Belum lagi ditambah waktu luang yang berbeda, anak-anak mempunyai waktu luang pada hari Sabtu dan Minggu, sedangkan ayah dan ibu justru sibuk pada hari-hari tersebut.
Seorang pendeta pernah bersaksi, bahwa saking sibuknya beliau pelayanan di gereja, kadang waktu menemani anakpun tidak ada selama sebulan penuh. Bahkan ada mainan anak-anaknya yang rusak tidak sempat diperbaiki dalam waktu berbulan-bulan dan sampai bertahun-tahun. Jemaat tidak pernah mengetahui akan hal ini bukan? Itu sebabnya saya memberitahukannya, jadi tidak ada pikiran lagi bahwa pendeta anda itu tidak ada pekerjaannya?
Beberapa tahun yang silam saya pernah mendengar ada puteri seorang pendeta yang barangkali kurang mendapat perhatiaan dari orang tuanya, sehingga tidak hati-hati di dalam pergaulan dan pacaran, beliau hamil sebelum menikah. Hal tersebut membuat sang ayah sebagai pendeta sangat terpukul, ia merasa gagal mendidik anak, termasuk juga gagal melayani Tuhan. Dalam kondisi demikian, ia pun mendapat cemooh dari beberapa jemaat, tidak ada yang memberikan kekuatan kepadanya. Jalan terakhir yang ditempuh sang pendeta adalah mengundurkan diri dari pelayanan di gereja tersebut. Lihatlah, begitu eratnya hubungan anak seorang pendeta dengan orang tuanya, dan ini sampai menyangkut profesi dan jabatan.
Tuntutan terhadap seorang pendeta dan anaknya begitu berat, sehingga banyak anak-anak pendeta tidak bersedia masuk ke Seminari untuk menjadi hamba Tuhan, alasannya tidak terpanggil menjadi hamba Tuhan, atau kami tidak mau seperti ayah. Pernah sewaktu saya kuliah di Medan, ada seorang teman sekolah, yang sekarang sudah menjadi pendeta, beliau bersaksi sewaktu kecilnya selalu diejek oleh anak-anak jemaat ayahnya. Mereka mengatakan “Hidupmu itu dari kantong persembahan”, ia merasa sakit hati. Saya tidak tahu siapa yang mengajar anak-anak itu berkata demikian. Namun inilah kenyataan hidup yang pernah dihadapi oleh teman saya itu. Untunglah dia masih terpanggil menjadi hamba Tuhan, sekarang beliau sudah menjadi pendeta.
Kadang sebagai seorang anak pendeta, mereka juga butuh sesuatu yang sama dengan teman-temannya, namun hidup mereka harus “memikul salib” mengikuti ayahnya. Mungkin bukan barang mewah yang mereka harapkan, tetapi keperluan sehari-harinya saja sulit dipenuhi. Pernah seorang anak hamba Tuhan memakai sepatu yang mereknya sama dengan sepatu anak majelisnya, tidak berapa lama sudah muncul berbagai gossip; padahal pengakuannya bahwa sepatu itu dibeli dari hasil tabungannya.
Yesus pernah berkata "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletkakkan kepala-Nya." Ayat ini cukup menghibur para pendeta, karena ternyata mereka masih ada pastori sebagai tempat tinggal, walaupun di dalam pastori itu tidak ada perabotnya, kalau ada kebanyakan perabot bekas dari jemaat yang kemarin dulu baru pindah ke rumah baru. Dan majelis yang di gereja tersebut barangkali mengatakan syukur masih ada perabot bekas, daripada harus tidur di lantai?
Kadang ada pergumulan tersendiri, misalnya yang paling sederhana ada seorang anak pendeta yang pingin seperti anak-anak lainnya merayakan ulang tahun. Tentu sebagai pendeta beliau sulit melakukan hal ini. Selain biaya, juga yang mesti diundang banyak sekali, jadi perlu pertimbangan yang sangat rinci. Belum lagi ada saja omongan jemaat dari belakang, entah karena pendeta pingin mendapat hadiah dari jemaat dan sebagainya. Kalau anak-anak jemaatnya tidak diundang, nanti dikira pendetanya sombong, kalau semuanya diundang, mana tahan?? Nah, kalau saya sih paling beli sebuah kue tar, lalu serahkan kepada guru sekolah Minggunya, acaranya menghembus liin dan potong kue, lalu makan, habis perkara! Gampangkan. Daripada timbul omongan jemaat di sana-sini. Belum lagi menikahkan anak, itu ceritanya lain lagi, saya belum berpengalaman untuk ceritakan yang demikian.
Yang paling menyulitkan apabila pendeta itu tinggalnya di pastori yang letaknya bersamaan dengan gereja. Jemaat setiap hari selalu melewati rumah pendetanya, privasinya tidak ada. Anak-anaknya juga merasa tidak bebas, bayangkan anak-anak sudah menganggap lokasi itu sudah seperti rumahnya sendiri, kadang mereka bermain, kadang mereka berlari dan juga menjerit. Namun ada hari-hari yang mereka harus diam mencekam seribu bahasa di rumah, karena ada acara Kebaktian Doa, karena Persekutuan Kaum Wanita, dan lain-lain.
Selain itu saya pernah melihat juga ada majelis yang menempatkan rumah pendetanya di lantai empat sebuah ruko, padahal anak pendeta tersebut masih kecil, sementara isterinya sedang hamil. Memang beliau boleh bersyukur, masih ada tempat tinggalnya, tetapi mempertimbangkan anaknya yang masih kecil, dan lantai empat, tentu tidak begitu efektif dan sangat berbahaya. Namun yang menjadi masalah adalah sang majelis masih menyelutuk di belakang “Bersyukurlah sudah ada tempat tinggal, masih banyak orang yang tinggal di kolong jembatan?”.
Permisi tanya saja, kalau anda yang menjadi “pendeta” mendengar kalimat ini, saya percaya kalau diri anda masih belum diubah oleh Kristus, pasti anda akan marah besar. Memang sesuai dengan istilah yang namanya hamba, ya harus memikul salib. Namun bukankah salib itu sudah dipikul oleh Tuhan Yesus? Apakah sekarang kita memikulnya lagi, barangkali pertanyan ini bisa menjadi sebuah kotbah yang cukup panjang lagi.
Saya mau jujur berkata pada anda, bahwa mereka yang berkeluarga dan mempunyai anak, sebenarnya mereka sulit untuk berpindah ladang kalau bukan karena habis masanya atau juga karena ada beban pelayanan yang lain (ini jawaban yang umum) atau yang lebih seru lagi, bermasalah. Soalnya, selain perlu penyesuaian diri (adaptasi) juga sekolah anak-anak dan sebagainya. Belum lagi “harta kekayaannya” yang cukup banyak yang harus dipindahkan. Jadi, ada kalanya kalau sang pendeta pindah ladang ke kota lain, ada yang dengan terpaksa meninggalkan anak-anaknya. Saya yakin pergumulan ini tidak gampang.
Kebanyakan bagi pendeta yang sekolah di luar negeri, maka anak-anaknya sudah mengadaptasi dengan bahasa setempat, sehingga pada waktu pulang ke negeri sendiri pasti mengalami kesulitan, dan belum tentu mereka cocok dengan sistem pendidikannya. Jadi tidak heran ada pendeta (tidak semua) yang demi sekolah anak-anak, mereka memilih tetap tinggal di luar negeri.
Terlalu sering saya mendengar orang-orang mengatakan “anak pendeta kok begitu”, “Anda anak pendeta loh, jadi harus begini….” dan sebagainya. Memangnya hanya anak pendeta yang mesti baik, saya yakin anak majelis, anak jemaat juga demikian tuntutannya. Inilah sekilas suka-duka pendeta dan anak-anaknya. Saya tidak tahu bagaimana pengalaman anda dengan anak-anak pendeta di gereja anda. Saya juga belum tahu bagaimana pengalaman anda dengan anak-anak anda. Tetapi ketahuilah, anak-anak pendeta, juga butuh pendeta; yang barangkali ia tidak merasakan ada pendeta di gerejanya karena sikap ayahnya sebagai pendeta di gereja sangat berbeda dengan sewaktu berada di rumah. Ayahnya lebih sering memperhatikan orang lain dari pada mereka. Tentu sangat menyakitkan sekali jikalau anak seorang pendeta harus pergi mencari pendeta lain untuk konseling atau menceritakan kehidupannya.
Biarlah melalui tulisan ini mereka yang menyandang predikat pendeta boleh disadarkan bahwa selama ini ada pergumulan tersendiri yang dihadapi anak-anaknya. Mari kita sediakan waktu, karena mereka sangat membutuhkannya. Jangan terlambat, selama masih ada kesempatan. "Didiklah anak-anak menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu" ( baca Amsal 22 :6). Sebaliknya kalau anda adalah majelis dan juga jemaat Tuhan di gereja, ketahuilah bahwa anak pendeta itu juga sama saja seperti anak anda, standard kehidupannya sama dengan anak-anak lainnya
Artikel ini dikutip dari Buku "Pendetaku Seperti Superman" yang telah diterbitkan oleh Penerbit Kristen KAIROS Jogjakarta. Anda dapat memiliki buku ini di Toko Buku Gramedia di Seluruh Indoensia
“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” (Efesus 6:4)
Menjadi anak pendeta bukan suatu pilihan, anda menginginkannyapun tidak pernah akan bisa, apalagi untuk menolaknya; kecuali kalau menjadi anak angkat pendeta mungkin sedikit gampang. Saya yakin bahwa kehadiran anak-anak pendeta itu sudah dirancang oleh Tuhan sebelumnya. Namun permisi tanya, apakah seorang anak pendeta juga harus menuruti panggilan seperti ayahnya sebagai “seorang pendeta”? Saya yakin anda pasti akan menjawabnya “tidak”. Namun sadarkah anda selama ini, bahwa banyak orang termasuk para jemaat yang “baik hati” menuntut kehidupan anak pendeta mesti seperti ayahnya? Baik kerohanian, sikap dan tingkah-laku serta segala-galanya harus sama seperti ayahnya.
Saya sendiri bukan anak pendeta, tetapi saya bisa merasakan bagaimana pedihnya ketika tuntutan yang diberikan oleh seorang jemaat, yang menghendaki anak-anak pendeta itu melebihi anak-anak lainnya. Anak pendeta harus lebih suci, lebih sopan, lebih sabar, lebih giat dan ya lebih segala-galanya. Memangnya anak pendeta itu manusia ajaib, sehingga ia dapat memenuhi tuntutan yang berat ini?
Sering kita mendengar bahwa ada anak pendeta itu nakal-nakal, saya kurang tahu apakah karena orang tuanya yang kurang pandai mendidik anaknya, atau karena kesibukan pelayanan orang tuanya sehingga anaknya kurang mendapat perhatian? Namun, semua ini sangat mempengaruhi pelayanan orang tuanya. Jemaat biasanya tanpa menyadari, hanya tinggal ngomong saja, “ Percuma, anak pendeta, perbuatannya seperti itu”, nama orang tuanya dibawa-bawa lagi. Padahal, kalau yang namanya anak, pasti ada saja “kenakalannya”.
Sadarkah anda bahwa tuntutan terhadap anak pendeta itu menjadi standard yang berlipat ganda, satu pihak dia sebagai orang Kristen, tuntutannya harus menjadi anak-anak Kristen yang baik dan lebih baik dari yang lainnya. Sekarang ia juga menyandang “gelar” anak pendeta, tuntutannya untuk kedua kalinya harus melebihi anak-anak Kristen lainnya. Inilah beban yang sering saya temukan di kalangan anak-anak pendeta.
Kadang pelayanan di gereja yang besar juga tidak menjamin segala-galanya. Apabila seorang pendeta melayani di gereja yang besar dan di kota besar, walaupun gajinya besar, maka tugas dan tanggung-jawabnya juga besar, tuntutannya juga besar, kesibukannya juga besar. Hampir setiap minggu ia harus berkotbah dan berulang kali, kemudian ada lagi pembesukan jemaat, rapat, retreat, pemberkatan nikah, konseling, Penguburan, dan sebagainya. Tugas-tugas harian tersebut sudah sangat menyita waktu, sehingga kadang kala ia tidak sempat memperhatikan anak-anaknya. Apalagi kalau sang isteri pendeta juga merangkap sebagai hamba Tuhan, kadang harus menangani sekolah Minggu atau komisi yang lain. Belum lagi ditambah waktu luang yang berbeda, anak-anak mempunyai waktu luang pada hari Sabtu dan Minggu, sedangkan ayah dan ibu justru sibuk pada hari-hari tersebut.
Seorang pendeta pernah bersaksi, bahwa saking sibuknya beliau pelayanan di gereja, kadang waktu menemani anakpun tidak ada selama sebulan penuh. Bahkan ada mainan anak-anaknya yang rusak tidak sempat diperbaiki dalam waktu berbulan-bulan dan sampai bertahun-tahun. Jemaat tidak pernah mengetahui akan hal ini bukan? Itu sebabnya saya memberitahukannya, jadi tidak ada pikiran lagi bahwa pendeta anda itu tidak ada pekerjaannya?
Beberapa tahun yang silam saya pernah mendengar ada puteri seorang pendeta yang barangkali kurang mendapat perhatiaan dari orang tuanya, sehingga tidak hati-hati di dalam pergaulan dan pacaran, beliau hamil sebelum menikah. Hal tersebut membuat sang ayah sebagai pendeta sangat terpukul, ia merasa gagal mendidik anak, termasuk juga gagal melayani Tuhan. Dalam kondisi demikian, ia pun mendapat cemooh dari beberapa jemaat, tidak ada yang memberikan kekuatan kepadanya. Jalan terakhir yang ditempuh sang pendeta adalah mengundurkan diri dari pelayanan di gereja tersebut. Lihatlah, begitu eratnya hubungan anak seorang pendeta dengan orang tuanya, dan ini sampai menyangkut profesi dan jabatan.
Tuntutan terhadap seorang pendeta dan anaknya begitu berat, sehingga banyak anak-anak pendeta tidak bersedia masuk ke Seminari untuk menjadi hamba Tuhan, alasannya tidak terpanggil menjadi hamba Tuhan, atau kami tidak mau seperti ayah. Pernah sewaktu saya kuliah di Medan, ada seorang teman sekolah, yang sekarang sudah menjadi pendeta, beliau bersaksi sewaktu kecilnya selalu diejek oleh anak-anak jemaat ayahnya. Mereka mengatakan “Hidupmu itu dari kantong persembahan”, ia merasa sakit hati. Saya tidak tahu siapa yang mengajar anak-anak itu berkata demikian. Namun inilah kenyataan hidup yang pernah dihadapi oleh teman saya itu. Untunglah dia masih terpanggil menjadi hamba Tuhan, sekarang beliau sudah menjadi pendeta.
Kadang sebagai seorang anak pendeta, mereka juga butuh sesuatu yang sama dengan teman-temannya, namun hidup mereka harus “memikul salib” mengikuti ayahnya. Mungkin bukan barang mewah yang mereka harapkan, tetapi keperluan sehari-harinya saja sulit dipenuhi. Pernah seorang anak hamba Tuhan memakai sepatu yang mereknya sama dengan sepatu anak majelisnya, tidak berapa lama sudah muncul berbagai gossip; padahal pengakuannya bahwa sepatu itu dibeli dari hasil tabungannya.
Yesus pernah berkata "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletkakkan kepala-Nya." Ayat ini cukup menghibur para pendeta, karena ternyata mereka masih ada pastori sebagai tempat tinggal, walaupun di dalam pastori itu tidak ada perabotnya, kalau ada kebanyakan perabot bekas dari jemaat yang kemarin dulu baru pindah ke rumah baru. Dan majelis yang di gereja tersebut barangkali mengatakan syukur masih ada perabot bekas, daripada harus tidur di lantai?
Kadang ada pergumulan tersendiri, misalnya yang paling sederhana ada seorang anak pendeta yang pingin seperti anak-anak lainnya merayakan ulang tahun. Tentu sebagai pendeta beliau sulit melakukan hal ini. Selain biaya, juga yang mesti diundang banyak sekali, jadi perlu pertimbangan yang sangat rinci. Belum lagi ada saja omongan jemaat dari belakang, entah karena pendeta pingin mendapat hadiah dari jemaat dan sebagainya. Kalau anak-anak jemaatnya tidak diundang, nanti dikira pendetanya sombong, kalau semuanya diundang, mana tahan?? Nah, kalau saya sih paling beli sebuah kue tar, lalu serahkan kepada guru sekolah Minggunya, acaranya menghembus liin dan potong kue, lalu makan, habis perkara! Gampangkan. Daripada timbul omongan jemaat di sana-sini. Belum lagi menikahkan anak, itu ceritanya lain lagi, saya belum berpengalaman untuk ceritakan yang demikian.
Yang paling menyulitkan apabila pendeta itu tinggalnya di pastori yang letaknya bersamaan dengan gereja. Jemaat setiap hari selalu melewati rumah pendetanya, privasinya tidak ada. Anak-anaknya juga merasa tidak bebas, bayangkan anak-anak sudah menganggap lokasi itu sudah seperti rumahnya sendiri, kadang mereka bermain, kadang mereka berlari dan juga menjerit. Namun ada hari-hari yang mereka harus diam mencekam seribu bahasa di rumah, karena ada acara Kebaktian Doa, karena Persekutuan Kaum Wanita, dan lain-lain.
Selain itu saya pernah melihat juga ada majelis yang menempatkan rumah pendetanya di lantai empat sebuah ruko, padahal anak pendeta tersebut masih kecil, sementara isterinya sedang hamil. Memang beliau boleh bersyukur, masih ada tempat tinggalnya, tetapi mempertimbangkan anaknya yang masih kecil, dan lantai empat, tentu tidak begitu efektif dan sangat berbahaya. Namun yang menjadi masalah adalah sang majelis masih menyelutuk di belakang “Bersyukurlah sudah ada tempat tinggal, masih banyak orang yang tinggal di kolong jembatan?”.
Permisi tanya saja, kalau anda yang menjadi “pendeta” mendengar kalimat ini, saya percaya kalau diri anda masih belum diubah oleh Kristus, pasti anda akan marah besar. Memang sesuai dengan istilah yang namanya hamba, ya harus memikul salib. Namun bukankah salib itu sudah dipikul oleh Tuhan Yesus? Apakah sekarang kita memikulnya lagi, barangkali pertanyan ini bisa menjadi sebuah kotbah yang cukup panjang lagi.
Saya mau jujur berkata pada anda, bahwa mereka yang berkeluarga dan mempunyai anak, sebenarnya mereka sulit untuk berpindah ladang kalau bukan karena habis masanya atau juga karena ada beban pelayanan yang lain (ini jawaban yang umum) atau yang lebih seru lagi, bermasalah. Soalnya, selain perlu penyesuaian diri (adaptasi) juga sekolah anak-anak dan sebagainya. Belum lagi “harta kekayaannya” yang cukup banyak yang harus dipindahkan. Jadi, ada kalanya kalau sang pendeta pindah ladang ke kota lain, ada yang dengan terpaksa meninggalkan anak-anaknya. Saya yakin pergumulan ini tidak gampang.
Kebanyakan bagi pendeta yang sekolah di luar negeri, maka anak-anaknya sudah mengadaptasi dengan bahasa setempat, sehingga pada waktu pulang ke negeri sendiri pasti mengalami kesulitan, dan belum tentu mereka cocok dengan sistem pendidikannya. Jadi tidak heran ada pendeta (tidak semua) yang demi sekolah anak-anak, mereka memilih tetap tinggal di luar negeri.
Terlalu sering saya mendengar orang-orang mengatakan “anak pendeta kok begitu”, “Anda anak pendeta loh, jadi harus begini….” dan sebagainya. Memangnya hanya anak pendeta yang mesti baik, saya yakin anak majelis, anak jemaat juga demikian tuntutannya. Inilah sekilas suka-duka pendeta dan anak-anaknya. Saya tidak tahu bagaimana pengalaman anda dengan anak-anak pendeta di gereja anda. Saya juga belum tahu bagaimana pengalaman anda dengan anak-anak anda. Tetapi ketahuilah, anak-anak pendeta, juga butuh pendeta; yang barangkali ia tidak merasakan ada pendeta di gerejanya karena sikap ayahnya sebagai pendeta di gereja sangat berbeda dengan sewaktu berada di rumah. Ayahnya lebih sering memperhatikan orang lain dari pada mereka. Tentu sangat menyakitkan sekali jikalau anak seorang pendeta harus pergi mencari pendeta lain untuk konseling atau menceritakan kehidupannya.
Biarlah melalui tulisan ini mereka yang menyandang predikat pendeta boleh disadarkan bahwa selama ini ada pergumulan tersendiri yang dihadapi anak-anaknya. Mari kita sediakan waktu, karena mereka sangat membutuhkannya. Jangan terlambat, selama masih ada kesempatan. "Didiklah anak-anak menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu" ( baca Amsal 22 :6). Sebaliknya kalau anda adalah majelis dan juga jemaat Tuhan di gereja, ketahuilah bahwa anak pendeta itu juga sama saja seperti anak anda, standard kehidupannya sama dengan anak-anak lainnya
Artikel ini dikutip dari Buku "Pendetaku Seperti Superman" yang telah diterbitkan oleh Penerbit Kristen KAIROS Jogjakarta. Anda dapat memiliki buku ini di Toko Buku Gramedia di Seluruh Indoensia
PENDETAKU BURN OUT ?
"Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa” ( II Korintus 4:8)
Masalah Burn Out ini semestinya bukan hanya secara khusus terjadi pada mereka yang berjabatan pendeta, saya yakin mereka yang bekerja pada profesi lain juga cenderung dapat mengalami demikian. Rasa kekecewaan, dikritik habis-habisan, merasa gagal terus-menerus, selalu merasa terabaikan atau kurang diperhatikan, tidak pernah ada pujian, tidak akur dengan rekan, selisih pendapat, terlalu sibuk pada pekerjaannya, inilah sekumpulan gejala-gejala seseorang itu menuju kepada Burn Out. Secara harafiah Burn Out itu dapat diterjemahkan dengan dibakar habis, kalau mau diterjemahkan secara bebas mungkin sudah tidak ada semangat lagi depresi, tidak bergairah lagi, bosan hampir putus asa , frustrasi dan merasa tidak berguna lagi?.
Kalau hari ini Burn Out ditujukan untuk para pendeta, maka sudah saatnya pendeta mengambil waktu teduh sejenak untuk, mengkaji ulang, mengevaluasi diri sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan pelayanannya, atau ladang yang digeluti? Gereja yang makin hari makin berkurang pengunjungnya, jemaat yang hanya tahu mengkritik, program gereja yang belum pernah terlaksana? Atau kalau terlaksana jemaat tidak mendukungnya? Mungkin juga sudah terlalu lama melayani di suatu ladang? Tidak akur dengan rekan kerja, baik dengan hamba Tuhan yang lain maupun majelis? Kotbah yang disampaikan terasa tidak ada “power” lagi, jemaat hanya memasukkan kotbah tersebut ke telinga kanan lalu mengeluarkannya melalui telinga kiri? Bahkan selesai kotbah bertubi-tubi ocehan yang anda terima. Anda merasa sudah tidak ada bahan lagi yang perlu disampaikan pada Kebaktian hari Minggu? Keluarga, anak dan isteri tidak mendukung pelayanan anda? Anda merasa ada dosa yang belum sempat diselesaikan dengan Tuhan secara pribadi? Majelis yang modelnya seperti bos? Sudah bertahun-tahun melayani, tidak ada tanda-tanda ditahbiskan menjadi pendeta? Saya yakin masih banyak lagi, yang membuat seorang hamba Tuhan mulai merasa bosan, atau merasa tidak layak lagi melayani. Mau mundur! Mau berhenti sejenak! Seorang penulis yang bernama Cliff Stabler mengatakan “Berusahalah untuk mengerti kebutuhan pendetamu sebelum kebutuhan itu menekan perasaannya”
Walaupun ada hal lain yang sangat sensitif sekali untuk dibicarakan, khususnya masalah uang dan segala kebutuhan seorang pendeta, namun sering kali masalah yang satu ini juga tidak kalah pentingnya membuatnya menjadi Burn Out. Bayangkan saja kebutuhan yang senantiasa melimpah, dari mulai dapur, sampai kebutuhan anak-anak sekolah, reparasi mobil dan juga biaya obat-obatan. Kadang ada majelis gereja yang kurang pengertian, atau sengaja tidak mau mengerti, sebenarnya hamba Tuhan di gerejanya itu dengan segala kebutuhan yang ada tidak mencukupi. Kenaikan gaji pendeta akan diberlakukan apabila persembahan jemaat sudah mulai kelihatan bertambah, namun herannya jemaat juga bukannya lebih suka memberikan persembahan sehingga sang pendeta harus menunggu dan bungkam seribu bahasa. Mungkin juga sang pendeta tidak lupa berdoa pada Tuhan untuk masalah ini, namun ternyata Tuhan belum menjawab doanya. Jemaat memang selalu mendukung kebutuhan pendetanya di dalam doa, namun batasnya hanya sampai pada doa tidak lebih dari itu; selebihnya diserahkan kembali kepada Tuhan. Belum lagi ada anggota jemaat yang suka sekali mencampuri urusan orang lain, termasuk juga urusan keluarga pendetanya; hal ini akan membuat sang pendeta bertambah stress melihat jemaatnya yang kurang kerjaan.
Ada pendeta yang sudah melayani sepuluh tahun, namun belum pernah mengambil cuti, sebenarnya mereka berhak untuk mengambilnya selama sebulan untuk setiap satu tahun pelayanan. Memang majelisnya pernah bertanya mengapa pendeta kami tidak pernah mengambil cutinya? Kalau melihat pendeta yang di gereja lain, bahkan ada yang mengambil cutinya melebihi jatahnya. Ada juga pendeta yang pergi ke luar negeri berulang kali di dalam satu tahun. Sementara majelis lain memuji-muji pendeta yang tidak pernah cuti ini, sebab dianggap sangat rajin dan setia melayani. Padahal setelah diselidiki dengan saksama, ternyata pendetanya bukan tidak mau cuti, ternyata cuti itu memerlukan banyak biaya. Bayangkan rumah sanak familinya berada di luar pulau, ditambah isteri satu dan anak tiga, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Terus terang saja bayaran gaji satu bulan pendeta tidak cukup hanya untuk biaya perjalanannya saja. Apabila saat ini anda sebagai jemaat atau majelis, mungkin sudah saatnya gereja anda memikirkan program kesejahteraan cuti buat sang pendeta. Lihat, inilah tekanan rutinitas yang harus dijalani seorang pendeta bertahun-tahun, semua ini merupakan akar terjadinya Burn Out itu.
Belum lagi ada majelis yang berani-berani mencoba untuk memberi larangan untuk cuti pendetanya, saya tidak tahu mengapa mereka berani berbuat demikian? Padahal sang pendeta tidak pernah meminta biaya cuti padanya? Atau meminjam uang padanya? Itu namanya pemerasan!! Sudah saatnya saya pikir para majelis model demikian bertobat atau istirahat beberapa priode untuk memperbaiki kerohaniannya, supaya di dalam pelayanannya memiliki “hati yang seperti Kristus”. Doa dan pengharapan saya agar anda tidak pernah bertemu dengan majelis yang model demikian?
Memang kadang kala di gereja sudah mulai kasak-kusuk terdengar berbagai ocehan dari jemaat yang pernah tidak puas pada pendetanya, beliau bukan hanya tidak pandai berkotbah namun juga begitu lamban mempraktekkan apa yang dikotbahkan. Kehidupan pendeta tidak dapat menjadi contoh. Hal ini juga membawa pengaruh terhadap masa depan pelayanan para pendeta. Selain itu ada jemaat gereja yang kurang menghargai pendetanya, sang pendeta dianggap sebagai musuh dan dicemooh. Sebagai pendeta tentu beliau tidak akan membalas segala tindakan dari jemaat itu. Pendeta ini hanya menunggu jawaban Tuhan atas doanya, sampai suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan sehingga memaksa sang anggota itu harus meninggalkan gereja. Maka barulah pendeta tersebut merasa sedikit aman melayani.
Di pihak lain pernah ada seorang pendeta yang melayani di sebuah gereja yang cukup besar dan menurut saya mampu ekonominya, namun fasilitas untuk pelayanan yang disediakan tidak memadai. Majelis tanda kutip begitu “pelitnya” sampai mobil pendeta yang sudah sering mogokpun tidak ada rencana untuk meremajakannya. Suatu hari sang pendeta berkunjung ke jemaat yang cukup kaya, namun belum tiba di rumah tersebut mobilnya sudah mogok lagi. Terpaksa meminta para satpam di rumah itu membantu mendorong mobilnya. Singkat cerita sang pendeta itu diledekin oleh sang satpam itu dengan nyanyian “Si Jago mogok”. Apakah itu yang diharapkan terjadi bagi pendeta anda? Saya yakin tidak bukan? Oleh sebab itu sudah saatnya, gereja yang mapan; dikelola lebih profesional oleh para majelis. Saya sangat setuju , kalau gereja memang tidak sanggup keuangannya, maka hal ini mungkin bisa diabaikan, namun kalau keuangannya sanggup maka majelis harus menambahkan segala fasilitas pelayanan untuk pendeta anda. Jemaat pasti akan mendukung melalui persembahan kalau mereka melihat ada projek yang dikerjakan oleh gereja. Jangan menambah beban pada pendeta anda untuk memikirkan hal ini lagi.
Coba anda perhatikan ayat-ayat Alkitab yang ditulis oleh Markus, baca Markus 10 : 42-45 , bunyinya demikian Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Saya yakin mereka yang sebagai pendeta sudah mengerti ayat ini, mereka memahaminya bahkan sudah pernah mengkotbahkan ayat ini juga. Namun masalahnya apakah ayat ini sudah dipraktekkannya? Ini masih tanda tanya!! Benar, para pendeta dipanggil untuk melayani, namun apakah karena pendeta dipanggil untuk melayani lantas beliau boleh diperlakukan dengan sesukanya oleh jemaat? Tentu tidak bukan?
Biasanya di setiap gereja ada jemaat yang terpanggil untuk memperhatikan para pendetanya, segala kebutuhannya sangat diperhatikan, itu sebabnya mereka kadang disebut seperti “burung gagak” yang muncul membawa berkat. Namun tidak dapat kita sangkal bahwa di gereja juga ada jemaat yang tidak mau peduli dengan pendetanya, bahkan selalu mencari kesalahan para pendetanya. Ketahuilah, jikalau para pendeta berbuat sebaik mungkin dan berusaha sekuat tenaga mungkin untuk memberikan pendekatan atau perhatian kepada jemaat, pasti ada saja satu dua jemaat yang tidak merasa senang kepadanya. Oleh sebab itu sangat diperlukan kematangan rohani bagi seorang pendeta untuk masuk ke dalam ladang pelayanan yang sulit ini; kalau tidak, maka jangan heran pada waktu yang sangat singkat saja para pendeta muda pun akan mengalami Burn Out.
Saya pernah mendengar seorang calon pendeta yang masih muda masuk ke ladang pelayanan yang bermasalah. Ditambah lagi beliau di gereja tersebut tidak menemukan sosok pendeta yang bisa diteladani sikapnya, maka di dalam satu tahun beliau melayani di gereja itu, beliau merasa sangat putus asa dan depresi; akhirnya ia mengambil langkah meninggalkan ladang pelayanan dan tidak lagi menjadi hamba Tuhan.
Memang secara teologis kita mungkin bisa membela dengan mengatakan, kemungkinan besar calon pendeta itu tidak mengalami panggilan pelayanan yang sungguh-sungguh; atau pada waktu itu beliau hanya emosinya saja. Tentu sangat disayangkan kalau sebagai seorang pemuda harus menghabiskan waktu mudanya untuk sekolah di Seminari sampai lima tahun atau lebih, kemudiaan ternyata panggilannya tidak jelas? Padahal teman-teman yang sepantaran dengannya saat ini sudah menjadi orang-orang yang berhasil di dalam bidang pekerjaannya masing-masing. Oleh sebab itu pertimbangkanlah dengan sebaik-baiknya kalau memang hari ini anda mengambil keputusan untuk menjadi seorang pendeta. Anda perlu meminta petunjuk yang jelas dari Tuhan, supaya benar-benar taat menjalani penggilan tersebut tanpa ada rasa penyesalan dikemudian hari.
Kalau anda perhatikan, ada pendeta yang menggunakan terlalu banyak waktu untuk melayani orang orang lain. Dia sibuk membereskan persoalan, mendamaikan seorang dengan yang lain, mengurus perselisihan keluarga yang sulit, dan menghadapi 1001 soal lainnya. Akhirnya ia sendiri menjadi frustasi. Sebagai orang yang dipanggil untuk pekerjaan Tuhan yang mulia itu, rasul Paulus juga bukan selalu berjalan pada jalan yang mulus, sering kali ia mengalami bahaya, ancaman yang cukup membahayakan. Namun apa yang dikatakan oleh Paulus "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa II Korintus 4:8 Rasul Paulus tidak pernah putus asa terhadap segala persoalannya., karena ia tahu, yang dia layani adalah Tuhan yang hidup, yang sanggup menolongnya jika Ia menghendaki itu terjadi.
Memang tidak gampang menjalani panggilan Tuhan ini, seperti apa yang dialami Nabi Elia, ada saatnya beliau gagah perkasa namun ada saat-saat ia putus asa tak berdaya, bahkan ia minta Tuhan Allah mengambil nyawanya (lihat 1 Raja-raja 19 :4). Para pendeta yang sudah lama melayani di dalam sebuah ladang sebenarnya perlu waktu untuk istirahat sebentar, untuk memperbaharui semangat yang baru. Ada sekolah teologi yang boleh menerima alumninya untuk kembali melanjutkan sekolah. Kemarin saya mendengar bahwa ada salah satu perusahaan Komputer di Amerika yang memberlakukan tahun sabatikal bagi pegawainya yang sudah bekerja di atas delapan tahun. Jadi pegawai tersebut berhak menngambil waktu seperti cuti, namun honornya tetap berjalan selama kurang lebih tiga bulan., Saya pikir kebijaksaaan ini cukup baik, untuk mencegah agar pegawainya tidak bosan dalam pekerjaan ini, dan ia bisa pergi mencari angin segar sebentar.
Ada beberapa gereja yang juga memberlakukan tahun sabatikal buat pendetanya, jadi pada tahun ke delapan selama satu tahun, pendeta tersebut diberikan kebebasan penuh istirahat. Jadi dalam waktu setahun tersebut, sang pendeta boleh masuk ke kampus untuk refresing kembali dengan beberapa mata kuliah. Atau mereka boleh membantu pelayanan di gereja yang lain di luar negeri misalnya, supaya ada suasana baru. Namun ada baiknya janganlah waktu tersebut dipakai terlalu padat, sebab percuma, tujuannya supaya istirahat, malah bertambah beban yang berat. Saya tidak tahu apakah gereja anda sudah terpikirkan akan hal ini atau belum? Kalau perusahaan sekuler saja tahu akan sabatikal tersebut, mengapa gereja tidak ada hal itu? Jangan sampai semangat, tenaga, dan pikiran terkuras habis, karena pendeta anda menjalani rutinitas pelayanan di gereja. Pendeta memerlukan retreat, yang artinya ada jangka waktu baginya untuk tenangkan diri dan memperbaharui semangatnya kembali. Dengan demikian ia tidak akan mengalami Burn Out.
"Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa” ( II Korintus 4:8)
Masalah Burn Out ini semestinya bukan hanya secara khusus terjadi pada mereka yang berjabatan pendeta, saya yakin mereka yang bekerja pada profesi lain juga cenderung dapat mengalami demikian. Rasa kekecewaan, dikritik habis-habisan, merasa gagal terus-menerus, selalu merasa terabaikan atau kurang diperhatikan, tidak pernah ada pujian, tidak akur dengan rekan, selisih pendapat, terlalu sibuk pada pekerjaannya, inilah sekumpulan gejala-gejala seseorang itu menuju kepada Burn Out. Secara harafiah Burn Out itu dapat diterjemahkan dengan dibakar habis, kalau mau diterjemahkan secara bebas mungkin sudah tidak ada semangat lagi depresi, tidak bergairah lagi, bosan hampir putus asa , frustrasi dan merasa tidak berguna lagi?.
Kalau hari ini Burn Out ditujukan untuk para pendeta, maka sudah saatnya pendeta mengambil waktu teduh sejenak untuk, mengkaji ulang, mengevaluasi diri sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan pelayanannya, atau ladang yang digeluti? Gereja yang makin hari makin berkurang pengunjungnya, jemaat yang hanya tahu mengkritik, program gereja yang belum pernah terlaksana? Atau kalau terlaksana jemaat tidak mendukungnya? Mungkin juga sudah terlalu lama melayani di suatu ladang? Tidak akur dengan rekan kerja, baik dengan hamba Tuhan yang lain maupun majelis? Kotbah yang disampaikan terasa tidak ada “power” lagi, jemaat hanya memasukkan kotbah tersebut ke telinga kanan lalu mengeluarkannya melalui telinga kiri? Bahkan selesai kotbah bertubi-tubi ocehan yang anda terima. Anda merasa sudah tidak ada bahan lagi yang perlu disampaikan pada Kebaktian hari Minggu? Keluarga, anak dan isteri tidak mendukung pelayanan anda? Anda merasa ada dosa yang belum sempat diselesaikan dengan Tuhan secara pribadi? Majelis yang modelnya seperti bos? Sudah bertahun-tahun melayani, tidak ada tanda-tanda ditahbiskan menjadi pendeta? Saya yakin masih banyak lagi, yang membuat seorang hamba Tuhan mulai merasa bosan, atau merasa tidak layak lagi melayani. Mau mundur! Mau berhenti sejenak! Seorang penulis yang bernama Cliff Stabler mengatakan “Berusahalah untuk mengerti kebutuhan pendetamu sebelum kebutuhan itu menekan perasaannya”
Walaupun ada hal lain yang sangat sensitif sekali untuk dibicarakan, khususnya masalah uang dan segala kebutuhan seorang pendeta, namun sering kali masalah yang satu ini juga tidak kalah pentingnya membuatnya menjadi Burn Out. Bayangkan saja kebutuhan yang senantiasa melimpah, dari mulai dapur, sampai kebutuhan anak-anak sekolah, reparasi mobil dan juga biaya obat-obatan. Kadang ada majelis gereja yang kurang pengertian, atau sengaja tidak mau mengerti, sebenarnya hamba Tuhan di gerejanya itu dengan segala kebutuhan yang ada tidak mencukupi. Kenaikan gaji pendeta akan diberlakukan apabila persembahan jemaat sudah mulai kelihatan bertambah, namun herannya jemaat juga bukannya lebih suka memberikan persembahan sehingga sang pendeta harus menunggu dan bungkam seribu bahasa. Mungkin juga sang pendeta tidak lupa berdoa pada Tuhan untuk masalah ini, namun ternyata Tuhan belum menjawab doanya. Jemaat memang selalu mendukung kebutuhan pendetanya di dalam doa, namun batasnya hanya sampai pada doa tidak lebih dari itu; selebihnya diserahkan kembali kepada Tuhan. Belum lagi ada anggota jemaat yang suka sekali mencampuri urusan orang lain, termasuk juga urusan keluarga pendetanya; hal ini akan membuat sang pendeta bertambah stress melihat jemaatnya yang kurang kerjaan.
Ada pendeta yang sudah melayani sepuluh tahun, namun belum pernah mengambil cuti, sebenarnya mereka berhak untuk mengambilnya selama sebulan untuk setiap satu tahun pelayanan. Memang majelisnya pernah bertanya mengapa pendeta kami tidak pernah mengambil cutinya? Kalau melihat pendeta yang di gereja lain, bahkan ada yang mengambil cutinya melebihi jatahnya. Ada juga pendeta yang pergi ke luar negeri berulang kali di dalam satu tahun. Sementara majelis lain memuji-muji pendeta yang tidak pernah cuti ini, sebab dianggap sangat rajin dan setia melayani. Padahal setelah diselidiki dengan saksama, ternyata pendetanya bukan tidak mau cuti, ternyata cuti itu memerlukan banyak biaya. Bayangkan rumah sanak familinya berada di luar pulau, ditambah isteri satu dan anak tiga, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Terus terang saja bayaran gaji satu bulan pendeta tidak cukup hanya untuk biaya perjalanannya saja. Apabila saat ini anda sebagai jemaat atau majelis, mungkin sudah saatnya gereja anda memikirkan program kesejahteraan cuti buat sang pendeta. Lihat, inilah tekanan rutinitas yang harus dijalani seorang pendeta bertahun-tahun, semua ini merupakan akar terjadinya Burn Out itu.
Belum lagi ada majelis yang berani-berani mencoba untuk memberi larangan untuk cuti pendetanya, saya tidak tahu mengapa mereka berani berbuat demikian? Padahal sang pendeta tidak pernah meminta biaya cuti padanya? Atau meminjam uang padanya? Itu namanya pemerasan!! Sudah saatnya saya pikir para majelis model demikian bertobat atau istirahat beberapa priode untuk memperbaiki kerohaniannya, supaya di dalam pelayanannya memiliki “hati yang seperti Kristus”. Doa dan pengharapan saya agar anda tidak pernah bertemu dengan majelis yang model demikian?
Memang kadang kala di gereja sudah mulai kasak-kusuk terdengar berbagai ocehan dari jemaat yang pernah tidak puas pada pendetanya, beliau bukan hanya tidak pandai berkotbah namun juga begitu lamban mempraktekkan apa yang dikotbahkan. Kehidupan pendeta tidak dapat menjadi contoh. Hal ini juga membawa pengaruh terhadap masa depan pelayanan para pendeta. Selain itu ada jemaat gereja yang kurang menghargai pendetanya, sang pendeta dianggap sebagai musuh dan dicemooh. Sebagai pendeta tentu beliau tidak akan membalas segala tindakan dari jemaat itu. Pendeta ini hanya menunggu jawaban Tuhan atas doanya, sampai suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan sehingga memaksa sang anggota itu harus meninggalkan gereja. Maka barulah pendeta tersebut merasa sedikit aman melayani.
Di pihak lain pernah ada seorang pendeta yang melayani di sebuah gereja yang cukup besar dan menurut saya mampu ekonominya, namun fasilitas untuk pelayanan yang disediakan tidak memadai. Majelis tanda kutip begitu “pelitnya” sampai mobil pendeta yang sudah sering mogokpun tidak ada rencana untuk meremajakannya. Suatu hari sang pendeta berkunjung ke jemaat yang cukup kaya, namun belum tiba di rumah tersebut mobilnya sudah mogok lagi. Terpaksa meminta para satpam di rumah itu membantu mendorong mobilnya. Singkat cerita sang pendeta itu diledekin oleh sang satpam itu dengan nyanyian “Si Jago mogok”. Apakah itu yang diharapkan terjadi bagi pendeta anda? Saya yakin tidak bukan? Oleh sebab itu sudah saatnya, gereja yang mapan; dikelola lebih profesional oleh para majelis. Saya sangat setuju , kalau gereja memang tidak sanggup keuangannya, maka hal ini mungkin bisa diabaikan, namun kalau keuangannya sanggup maka majelis harus menambahkan segala fasilitas pelayanan untuk pendeta anda. Jemaat pasti akan mendukung melalui persembahan kalau mereka melihat ada projek yang dikerjakan oleh gereja. Jangan menambah beban pada pendeta anda untuk memikirkan hal ini lagi.
Coba anda perhatikan ayat-ayat Alkitab yang ditulis oleh Markus, baca Markus 10 : 42-45 , bunyinya demikian Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Saya yakin mereka yang sebagai pendeta sudah mengerti ayat ini, mereka memahaminya bahkan sudah pernah mengkotbahkan ayat ini juga. Namun masalahnya apakah ayat ini sudah dipraktekkannya? Ini masih tanda tanya!! Benar, para pendeta dipanggil untuk melayani, namun apakah karena pendeta dipanggil untuk melayani lantas beliau boleh diperlakukan dengan sesukanya oleh jemaat? Tentu tidak bukan?
Biasanya di setiap gereja ada jemaat yang terpanggil untuk memperhatikan para pendetanya, segala kebutuhannya sangat diperhatikan, itu sebabnya mereka kadang disebut seperti “burung gagak” yang muncul membawa berkat. Namun tidak dapat kita sangkal bahwa di gereja juga ada jemaat yang tidak mau peduli dengan pendetanya, bahkan selalu mencari kesalahan para pendetanya. Ketahuilah, jikalau para pendeta berbuat sebaik mungkin dan berusaha sekuat tenaga mungkin untuk memberikan pendekatan atau perhatian kepada jemaat, pasti ada saja satu dua jemaat yang tidak merasa senang kepadanya. Oleh sebab itu sangat diperlukan kematangan rohani bagi seorang pendeta untuk masuk ke dalam ladang pelayanan yang sulit ini; kalau tidak, maka jangan heran pada waktu yang sangat singkat saja para pendeta muda pun akan mengalami Burn Out.
Saya pernah mendengar seorang calon pendeta yang masih muda masuk ke ladang pelayanan yang bermasalah. Ditambah lagi beliau di gereja tersebut tidak menemukan sosok pendeta yang bisa diteladani sikapnya, maka di dalam satu tahun beliau melayani di gereja itu, beliau merasa sangat putus asa dan depresi; akhirnya ia mengambil langkah meninggalkan ladang pelayanan dan tidak lagi menjadi hamba Tuhan.
Memang secara teologis kita mungkin bisa membela dengan mengatakan, kemungkinan besar calon pendeta itu tidak mengalami panggilan pelayanan yang sungguh-sungguh; atau pada waktu itu beliau hanya emosinya saja. Tentu sangat disayangkan kalau sebagai seorang pemuda harus menghabiskan waktu mudanya untuk sekolah di Seminari sampai lima tahun atau lebih, kemudiaan ternyata panggilannya tidak jelas? Padahal teman-teman yang sepantaran dengannya saat ini sudah menjadi orang-orang yang berhasil di dalam bidang pekerjaannya masing-masing. Oleh sebab itu pertimbangkanlah dengan sebaik-baiknya kalau memang hari ini anda mengambil keputusan untuk menjadi seorang pendeta. Anda perlu meminta petunjuk yang jelas dari Tuhan, supaya benar-benar taat menjalani penggilan tersebut tanpa ada rasa penyesalan dikemudian hari.
Kalau anda perhatikan, ada pendeta yang menggunakan terlalu banyak waktu untuk melayani orang orang lain. Dia sibuk membereskan persoalan, mendamaikan seorang dengan yang lain, mengurus perselisihan keluarga yang sulit, dan menghadapi 1001 soal lainnya. Akhirnya ia sendiri menjadi frustasi. Sebagai orang yang dipanggil untuk pekerjaan Tuhan yang mulia itu, rasul Paulus juga bukan selalu berjalan pada jalan yang mulus, sering kali ia mengalami bahaya, ancaman yang cukup membahayakan. Namun apa yang dikatakan oleh Paulus "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa II Korintus 4:8 Rasul Paulus tidak pernah putus asa terhadap segala persoalannya., karena ia tahu, yang dia layani adalah Tuhan yang hidup, yang sanggup menolongnya jika Ia menghendaki itu terjadi.
Memang tidak gampang menjalani panggilan Tuhan ini, seperti apa yang dialami Nabi Elia, ada saatnya beliau gagah perkasa namun ada saat-saat ia putus asa tak berdaya, bahkan ia minta Tuhan Allah mengambil nyawanya (lihat 1 Raja-raja 19 :4). Para pendeta yang sudah lama melayani di dalam sebuah ladang sebenarnya perlu waktu untuk istirahat sebentar, untuk memperbaharui semangat yang baru. Ada sekolah teologi yang boleh menerima alumninya untuk kembali melanjutkan sekolah. Kemarin saya mendengar bahwa ada salah satu perusahaan Komputer di Amerika yang memberlakukan tahun sabatikal bagi pegawainya yang sudah bekerja di atas delapan tahun. Jadi pegawai tersebut berhak menngambil waktu seperti cuti, namun honornya tetap berjalan selama kurang lebih tiga bulan., Saya pikir kebijaksaaan ini cukup baik, untuk mencegah agar pegawainya tidak bosan dalam pekerjaan ini, dan ia bisa pergi mencari angin segar sebentar.
Ada beberapa gereja yang juga memberlakukan tahun sabatikal buat pendetanya, jadi pada tahun ke delapan selama satu tahun, pendeta tersebut diberikan kebebasan penuh istirahat. Jadi dalam waktu setahun tersebut, sang pendeta boleh masuk ke kampus untuk refresing kembali dengan beberapa mata kuliah. Atau mereka boleh membantu pelayanan di gereja yang lain di luar negeri misalnya, supaya ada suasana baru. Namun ada baiknya janganlah waktu tersebut dipakai terlalu padat, sebab percuma, tujuannya supaya istirahat, malah bertambah beban yang berat. Saya tidak tahu apakah gereja anda sudah terpikirkan akan hal ini atau belum? Kalau perusahaan sekuler saja tahu akan sabatikal tersebut, mengapa gereja tidak ada hal itu? Jangan sampai semangat, tenaga, dan pikiran terkuras habis, karena pendeta anda menjalani rutinitas pelayanan di gereja. Pendeta memerlukan retreat, yang artinya ada jangka waktu baginya untuk tenangkan diri dan memperbaharui semangatnya kembali. Dengan demikian ia tidak akan mengalami Burn Out.
PERCERAIAN ITU JAHAT, NAMUN APA BOLEH BUAT?
Beberapa tahun yang lalu di surat-surat kabar Indonesia dan majalah-majalah populer terlihat lagi trend membicarakan masalah perceraian, khususnya para artis kelas atas. Misalnya saja Desy Ratnasari yang baru menikah sudah masuk di dalam persidangan dan gugat cerai terhadap suaminya. Lalu muncul lagi penyanyi Renold Pangabean yang juga mau bercerai dengan istrinya, padahal isteri yang ini sudah merupakan istri yang kedua setelah yang pertama Camelia Malik.
Lalu ada lagi yang katanya ?pendeta gadungan? menyiksa dan memukul isterinya Nur Afni Oktavia, mereka cerai dan si ?pendeta gadungan? itu di masukkan dalam penjara. Masih banyak lagi berita-berita perceraian yang tentunya tidak dapat di pantau secara menyeluruh, itu artinya di dalam satu hari saja ada berapa ratus pasangan yang mau bercerai. Sementara itu yang ironis banyak pula pasangan yang sedang menjalin cinta dan siap dipersatukan di dalam pernikahan. Pernikahan seperti hal nya orang bermain gundu atau layangan
Sebenarnya, pada saat kedua insan yakni sang pria dan wanita menentukan pilihan untuk berpacaran, maka sudah seharusnya mereka memperhitungkan konsekuensi yang harus dihadapi. Dengan berpacaran itu berarti ia sudah mempersiapkan diri untuk menikah, sebab tidak mungkin orang berpacaran seperti bermain-main gundu atau layangan yang ada musimnya, lalu besok lusa putus dan ganti yang baru lagi. Di luar sana orang-orang akan menertawai dan mengenyek kita dengan menyebutnya "piala bergilir" bagi wanita atau "play boy" bagi yang pria.
Dengan adanya konsekuensi demikian maka mereka yang berpacaran adalah mereka yang sudah cukup umur atau dewasa, sudah bekerja atau mencari nafkah, jangan yang setiap mau keluar rumah masih minta uang pada orang tua, itu namanya "Cinta monyet". Ketika saya masih remaja saya pernah mendengar sebuah lagu pop sekuler yang berjudul "Cinta Monyet", isinya kira-kira demikian: "Malam Senin mulai bertemu, malam Selasa datang bertamu, malam Rabu terus merayu, malam Kamis Darling I Love you, malam Jumat terima surat yang isinya cinta ditolak, malam Sabtu sendiri lagi, malam Mingu mencari ganti." Orang yang sungguh-sungguh berpacaran tidak demikian, ia sudah mulai memikirkan masa depan dengan matang.
Jaman sekarang adalah jaman modern dan sekaligus jaman gila-gilaan, saya sering melihat anak-anak remaja yang masih Sekolah Menengah Pertama dengan berpakaian seragam sekolah sudah berpacaran. Lalu kalau ditanya kapan menikahnya, pada umumnya mereka tidak bisa menjawab, karena akan tunggu selesai kuliah, lalu kalau sudah selesai kuliah masih menunggu untuk mencari kerja dan sebagainya. Belum lagi karena labilnya kaum remaja maka di tengah jalan berpacaran sering kali berakhir dengan putus cinta hanya karena ada yang lebih tampan dan cantik atau yang lebih kaya, lalu merekapun stress dan frustrasi bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
Saya tidak tahu ketika kita menjalani abad 21 dan milenium baru ini, jangan kaget sebab sebentar lagi kita akan mendengar anak Sekolah Dasar juga sudah bisa berpacaran. Pernah dimuat di koran harian Surabaya seorang anak laki-laki di Amerika yang baru berusia 7 tahun menikah dengan anak wanita yang berumur 5 tahun. Bukankah dunia kita sudah penuh kebingungan. Umur 5 dan 7 tahun untuk mengurus diri sendiri saja belum tentu bisa, apalagi mengurus orang lain.
Kita semua adalah orang-orang yang berdosa; banyak daftar dosa kita tentunya, selembar catatan tidak akan memuatnya. Jangankan selembar mungkin satu rim kertaspun tidak cukup untuk mencatat dosa-dosa kita. Kemudian rasul Paulus mengatakan, lihat1 Kor 6 :11 "Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan , kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita". Lalu timbul pertanyaan, apa hubungannya dengan Pernikahan maupun Perceraian. Apakah orang Kristen boleh bercerai? Mengapa? Lalu bagaimana jikalau sudah tidak akur lagi? Kata Yesus kepada mereka:
Kita harus insaf bahwa pernikahan sifatnya bukan sementara, artinya akan dibawa sampai mati. Orang yang percaya (Kristen) tentu senantiasa akan memegang prinsip Alkitab; satu Tuhan, satu Baptisan dan juga satu istri, kecuali karena kematian yang memisahkan. Ikatan pernikahan menunjuk kurun waktu selama manusia atau pasangan itu masih hidup. Perceraian dapat dianggap terjadi ketika sepasang suami-istri memutuskan untuk tidak lagi memenuhi ikatan pernikahan mereka. Walaupun kalau kita perhatikan biasanya salah satu pihak yang memperakarsai perceraian itu; tetapi keduanya menanam andil tertentu sampai terjadi perpecahan itu.
Di dalam definisi lain, perceraian yaitu pemutusan ikatan nikah secara hukum, merupakan penyimpangan dari maksud Allah, tidak mendapat dukungan firman Tuhan kecuali dalam batas-batas kondisi tertentu. Perceraian adalah akibat dosa dari salah satu atau dua pihak pasangan suami-istri. Sering kedua pihak itu mempunyai kesalahannya masing-masing, kesombongan dan mementingkan diri sendiri sering menambah andil pada keadaan mendorong terjadinya perceraian.
Tatkala berbicara tentang perceraian maka Yesus mengatakan bahwa Musa mengizinkan perceraian , itu semata-mata karena "ketegaran hatimu", atau karena "tegar tengkuknya" orang-orang Israel (lih Mat 19:8). Musa tahu bahwa perceraian itu jahat, tetapi apa boleh buat. Kemudian muncul pertanyaan lagi apakah dengan demikian Tuhan Yesus menolak perceraian itu sama sekali?
Sebenarnya Alkitab secara tegas menolak akan perceraian, apapun alasannya. Perhatikan dan baca Kej 2:24, lalu juga 1 Kor 7:10 bandingkan juga dengan Mal 3:15,16. Dan bahkan rasul Pauluspun tahu bahwa adalah lebih baik kalau seseorang itu "tidak kawin" 1 Kor 7:1, tetapi karena mengingat bahaya percabulan, atau godaan-godaan seksual maka "lebih baik kawin", supaya sah dan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Perhatikan ayat 6 rasul Paulus katakan ini semua sebagai suatu kelonggaran.
Perceraian diijinkan pada batas kondisi sebagai berikut, biasanya pada tahap apa boleh buat, yakni:
1. Bila teman hidup melakukan pelanggaran seks seperti perzinahan atau homoseks (Lesbian), dan tidak berniat untuk bertobat atau mencari pengampunan Allah, atau meninggalkan dosa untuk kembali setia kepada istri maupun suaminya.
2. Bila salah satu meninggalkan pasangannya, khususnya bila pasangan tidak beriman yang meninggalkan pasangannya yang percaya (lihat 1 Korintus 7:15).
3. Kasus khusus yakni mati, itu berarti pasangan tersebut tercerai secara otomatis. Kasus yang ini tentu di luar jangkauan manusia.
Jikalau sebelum menerima Kristus, seseorang telah menikah dan kemudian bercerai, dia harus tetap pada keadaannya itu. Jika seseorang sempat menikah ulang, dia harus berupaya agar perkawinannya kedua berhasil. Meninggalkan pasangan kedua untuk kembali kepada pasangan yang pertama, adalah salah. Dua kesalahan tidak menghasilkan kebenaran. Gereja biasanya tidak melayani pemberkatan nikah kedua, artinya sebelum salah satu pasang meninggal dunia gereja tidak akan memberkati pasangan yang pernah bercerai untuk menikah; sebab ini merupakan pelanggaran janji setianya dihadapan Allah (bandingkan dengan 1 Korintus 7:39).
Berpasangan dengan orang yang bukan Kristen, bukanlah alasan untuk bercerai. Sebaliknya, yang Kristen dianjurkan untuk hidup berdamai dengan pasangannya yang bukan Kristen, ia harus menjadi teladan supaya memenangkan pasangannya ke dalam iman pada Kristus ( 1 Kor 7:12-16). Di gereja banyak kaum wanita yang bersaksi bagaimana suaminya boleh percaya pada Yesus dan memperoleh keselamatannya ketika mereka sudah menikah puluhan tahun. Tuhan Yesus sedang menguji kesabaran dan ketekunan kita. Bagi orang-orang yang beriman lemah, Tuhan Yesus tahu itu dan kemungkinan besar mempercepat pasangannya percaya Yesus.
Namun, bagi yang pasangannya sudah cukup lama, namun masih belum menerima Tuhan Yesus, mungkin anda adalah orang yang mempunyai iman yang kuat dan Tuhan sedang mengujinya. Sesekali jangan mengartikan dengan Tuhan tidak mengasihi anda atau meninggalkan keluarga anda kareana hal ini , sebab cara ini akan memperlemah iman kepercayaan anda. Sesuatu yang sangat perlu kita perhatikan adalah, orang menerima Tuhan Yesus itu tidak bisa dengan paksaan, semua itu harus melalui pengalaman pribadinya pada Tuhan dan sifatnya suka-rela dan bertahap.
Sebab-sebab sebuah Perceraian:
Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Dalam janji nikah yang diucapkan dihadapan Allah, mereka harus sehidup-semati, baik kaya maupun miskin, baik sehat maupun sakit, baik senang maupun susah dan sebagainya. Namun kenyataannya di dunia masih ada pasangan yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering menyebabkan suatu perceraian antara lain:
1. Alasan Ekonomi
Bukankah ketika pendeta memberkati pernikahan di gereja sudah diadakan perjanjian bahkan seperti sumpah setia bahwa kedua mempelai itu akan setia sampai mati, baik dikala kaya atau miskin, sehat ataupun sakit? Namun kenyataannya ada banyak pasangan yang menganggap janji di atas hanya sekadar janji biasa, padahal mereka sedang berjanji dihadapan Tuhan. Tidak jarang jarang kita melihat hanya masalah uang, perceraian itupun terjadi. Apakah pernikahan itu hanya karena uang?
Memang kadang kala ada pria yang kelewatan, sering kita dengar para wanita mengeluh sebab suaminya tidak mau bekerja, mabuk-mabukan lalu (maaf) main perempuan lagi. Bagaimana pernikahan kami bisa bertahan, anak-anak butuh kasih-sayang, susu dan makanan, uang sekolah dan sebagainya. kita mengalami kesulitan memaksa kelurga yang demikian supaya bersatu, tetapi sebagai orang percaya kita harus yakin bahwa Tuhan sanggup mengubah seseorang, maka tidak salahnya apabila kita mendoakan mereka; bukan menyarankan supaya bercerai.
Sebaliknya, mungkin Tuhan memberkati dengan limpah, lalu keluarga itu menjadi kaya raya. Sang suami atau istri mulai sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Akhirnya juga bisa terjadi perceraian karena perhatian semua dicurahakan kepada mencari uang. Itulah sebabnya ada orang yang berpendapat "Biarlah miskin tetapi keluarga bahagia", namun bukankah alangkah baiknya pendapat ini boleh diubah "biarlah kaya tetapi keluarga tetap bahagia juga".
2. Alasan Berselingkuh
Perselingkuhan sering terjadi mungkin karena kurangnya perhatian dari pasangan kita, karena perpisahan yang cukup lama satu dengan yang lain, dengan sekretaris atau orang sekantor dan sebagainya.. Biasanya karena sering terjadi komunikasi, baik secara langsung atau melalui telepon atau surat-menyurat. Sebagai orang percaya seharusnya hal ini tidak perlu terjadi apabila kita memberi batasan terlebih dahulu, misalnya kita harus sadar bahwa "kita sudah menikah", lain halnya apabila masih berpacaran, masih banyak pilihan.
Tetapi apabila seseorang sudah menikah maka jangan sesekali memberi kesempatan seperti itu. Demikian juga kita perlu jaga jarak terhadap wanita atau pria yang sudah menikah. Kadang kala dengan cerita penuh humor, perhatian yang terlalu mendalam, memberi hadiah dan sebagainya bisa membuat seseorang salah pengertian. Penjagaan ini tujuannya supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Sebab apabila terlanjur "cinta" maka sangat sakit dan sulit untuk dipisahkan.
3. Masalah tidak akur, bertengkar terus
Sebenarnya pertengkaran atau cekcok itu wajar dalam suatu pernikahan, ada orang yang mengatakan itulah "pelangi" atau "keindahan" sebuah pernikahan. Yang penting adalah sebuah pertengkaran itu jangan lari dari masalah pokok yang terjadi. Sering kali yang terjadi di dalam pertengkaran itu tidak kunjung habis, karena masing-masing mengorek-ngorek kesalahan masa lalu. Mungkin kejadiaanya sudah lima atau sepuluh tahun yang lalu, tetapi diungkitkan lagi, padahal persoalannya dimulai dengan hal yang kecil, misalnya lupa mengunci pintu rumah, ketemu mantan pacar di gereja dan sebagainya.
Yang paling penting diperhatikan di dalam pertengkaran itu adalah hendaknya kita mempunyai prinsip bahwa kejadian itu harus selesai sebelum matahari terbenam, sesuai dengan prinsip Alkitab. Jangan pernah terucap kata "minta cerai" tehadap pasangannya, karena ini sangat menyakitkan, apalagi sampai yang wanita membawa koper kembali ke rumah orang tua. Syukur kalau sang suami mau jemput pulang, kalau sama-sama gengsinya dan tidak pernah di jemput, sementara sang wanita tidak berani pulang, maka akan timbul perceraian.
Seorang teman saya baru-baru ini pernah menceritakan tentang keluarganya, beliau pertama menikah sering sekali bertengkar, karena selain pacarannya secara kilat dan ia menemukan banyak perbedaan di antara mereka berdua. Namun ia harus belajar tahan menghadapi kenyataan hidup ini. Sekarang anak mereka sudah dua dan hidup bahagia.
4. Masalah Penyiksaan
Masalah penyiksaan ini sering juga terungkap terhadap beberapa pasangan pernikahan yang pada mulanya di luar dugaan mereka. Ada yang karena kelainan seks sehingga ia akan merasa terangsang apabila degan menyakiti pasangannya, bila perlu sampai tubuhnya terluka-luka. Ada yang sering memukul pasangannya apabila terjadi pertengkaran dan tidak jarang mengluarkan benda-benda tajam untuk mengancam pasangannya. Nah kalau ini terus-menerus terjadi bagaimana keluarga ini dapat bertahan? Wajarnya memang keadaan seperti ini tidak boleh terjadi terhadap pasangan suami-istri, tetapi kenyataannya ada keluarga yang menghadapi demikian.
Saya pernah menemukan seorang wanita yang sering dipukul oleh suami pada waktu muda, sekarang ia seperti orang gila karena stress. Ia berusaha menahan, sabar, tetap mau bersatu, namun orang-orang tidak mengerti dia, dan akhirnya ia seperti hampir gila. Bagi yang tidak tahan maka, ia akan mengambil langkah terakhir yakni perceraian. Seandainya perceraian merupakan alternatif terakhir, maka sebagai konsekwensinya ia harus tetap membujang ( lihat 1 Korintus 7:10-11 dan Matius 19:9).
Seorang ahli psikologi menyarankan bahwa kalau anda sampai menemukan pasangan yang demikian, hendaknya tindakan yang diambil pertama kali bukan bercerai, namun bagaimana mengobati penyakit ini. Mungkin caranya harus berpisah untuk "sementara waktu" atau bagaimana; namun disarankan hendaknya dikonsultasikan dengan para ahli.
5. Masalah penyakit / cacat tubuh
Sebenarnya masalah sakit penyakit bukan merupakan alasan bagi sesorang untuk bercerai. Ada banyak pasangan yang penuh kesabaran merawat sang suami atau istri yang karena sesuatu penyakit harus berbaring cukup lama di tempat tidur bahkan samapi akhir riwayat hidupnya. Di sinilah letak kesetiaan seseorang terhadap pasangannya diuji. Sesuai dengan janji pernikahkan maka sakit penyakit bahkan sampai cacat bukan merupakan alasan seseorang untuk bercerai. Sebabbagi orang percaya kita harus menerima kenyataan ini, walaupun pahit seperti empedu. Berdoalah minta kekeuatan dari Tuhan, supaya ada kekuatan mengahadapi persoalan-persoalan yang sukar.
6. Perbedaan Agama
Memang tidak semua pasangan sampai bercerai karena masalah perbedaan agama. Banyak pasangan justru bisa membawa pasangannya kepada Kristus. Tetapi kita tidak menutup kenyataan ada pasangan tertentu yang mengalami kesulitan akibat perbedaan agama. Terutama mereka yang sebagai istri, sebelum menikah masih ada kelonggaran boleh ikut kebaktian maupun pelayanan, tetapi setelah menikah mulailah dibatasi, sampai akhirnya hadir ke kebaktianpun tidak boleh. Inilah yang bisa menyebabkan pasangan suami-isteri itububar.
Oleh sebab itu sesuai dengan petunjuk firman Tuhan, maka idealnya setiap anak Tuhan harus memilih pasangannya yang juga percaya kepada Tuhan Yesus, walaupun tidak menjamin tidak adanya perceraian. Namun apabila sudah terlanjur menikah, cobalah kita berdoa buat pasangan kita ini; sambil tetap bertahan terhadap iman kepercayaan kita. Jadilah teladan melalui hidup kita sehari-hari, sebab dengan cara demikian kita akan bersaksi secara tidak langsung.
Resiko Sebuah Perceraian
1. Khususnya bagi anak-anak mereka, kemungkinan besar menjadi terlantar. Mengapa tidak? Sebab ketika ayah dan ibu mereka kawin lagi dengan orang lain, maka mereka telah memperoleh apa yang disebut ayah atau ibu tiri. Sebaik-baiknya ayah atau ibu tiri pasti beda dengan yang kandung. Memang ada yang baik sekali, tetapi tidak 100% bukan? Apalagi pada saat mereka menikah, pasanagan yang lain masih hidup. Pertengkaran selalu cenderung terjadi, terutama terhadap pasangannya yang lama; dan hal ini sanagt menyusahkan anak-anak. Mereka akan menjadi malau, rendah diri dan sebagainya.
2. Perceraian menimbulkan suatu luka yang tidak mungkin disembuhkan. Ini diibaratkan dengan cinta yang terkoyak-koyak, sangat sulit untuk dilekatkan kembali. Pasti ada bekasnya, dan beklasnya itu selain tidak enak dipandang juga rasanya sakit sekali.
Menimbang Resiko yang Bakal Terjadi:
1. Senang atau tidak senangkah Allah? Jelas Allah tidak pernah senang akan perceraian, sebab di didalam Alkitab tertulis apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.
2. Membawa pengaruh buruk bagi orang lain, anak-anak, orang tua sanak keluarga. Secara psikologi perkembangan anak sangat terpengaruh, apalagi para tetangga yang suka gosip ditambah dengan teman-teman sekolah yang suka mengejek, hal ini pasti sangat mengganggu mereka. Anak-anak akan merasa tertekan, kurangnya kasih sayang dan akhirnya cenderung mereaka berontak untuk mencari perhatian dan menjadi brutal. Tidak jarang mereka yang terjerumus di dalam Narkoba ini adalah anak-anaka yang keluarganya bermasalah.
3. Sungguhkah ini menyelesaikan masalah atau justru menciptakan masalah baru. Perceraian pasti menimbulkan masalah baru, karena kasih sayang yang semula utuh sekarang retak. Belum lagi ditambah dengan penderitaan yang bakal dialami oleh anak-anak. Mereka merasa rendah diri, takut diejek teman, malau pada guru, tetangga serta handai-taulan, sebab peristiwa orang tuanya selalu diungkit kembali tatkala mereka berada dilingkungan yang mengenalnya. Mungkin tidak secara langsung, tetapi biasanya dengan berbisik orang-orang sekitar akan membicarakan masalah perceraian orang tua mereka itu. Inilah maslaha baru yang senantiasa dihadapi anak-anak yang orang tuanya bercerai.
4. Perceraian adalah suatu pengalaman emosional buruk yang membekas sangat dalam. Perceraian membuat retak sebuah kasih yang sudah terjalain, di situ ada sakit hati, dendam, benci, kemarahan dan sebagiainya, dan semua itu mebekasa sanagt mendalam serta tidak mungkin terlupakan. Mungkin bagi mereka yang bercerai mengatakan bahwa pa yang sudah terjadi telah dilupakan, namun sesungguhnya mereka terus menerus mengingatnya, kesedihan, penyesalan tidak pernah terhenti. Bagaimana Mencegah sebuah Perceraian
1. Mulai mencari jalan keluar dengan penuh rendah hati, dan mengampuni (lih Mat 18:21,22) Dalam hal mengampuni ini tidak gampang, apalagi didapati pasangan suami istri itu terdapat perselingkuhan. Adanya orang ke tiga, yang biasanya disebut WIL atau PIL ( Wanita/Pria Idaman Lain).
2. Mengalah berapa lama? Apa batasnya? Seandainya di dalam keluarga terjadi pertengkaran, salah satu pasang harus berusaha mengalah untuk meredahkan emosi yang lebih memuncak lagi. Apabila keduanya saling ngotot tidak mau mengalah, maka resiko untuk mencapai perceraian sangat terbuka. Sebab di saat emosi sesorang akan mengambil keputusan-keputusan yang tidak rasionil dan sering kalai menyakiti hati orang lain.. Menurut pengajaran Tuhan Yesus, setiap orang yang percaya diminta mengalah dan itu tanpa batas.
Bagaimana Sikap orang percaya dan Gereja terhadap Perceraian?
Saya melihat godaan dan cobaan sangat besar terutama bagi anda yang tinggal di Amerika, suami sibuk dengan pekerjaan, demikian juga isteri dengan pekerjaannya sendiri. Kadang suami kerjanya pada malam hari, sang isteri bekerja pada siang hari. Secara otomatis kalau suami dan isteri jarang sekali bertemu. Pergaulannya hanya sekitar rekan-rekan di pekerjaan, bagaimanapun karena banyaknya waktu bertemu rekan kerja, apalagi yang lawan jenis ; maka tidak tertutup kemungkinan godaan dan cobaan itu terjadi. Tiba-tiba saja ada berita , suamiku diserobot oleh isteri tetangga, atau sebaliknya. Itu sebabnya, sebagai anak Tuhan kita perlu waspada dan berjaga-jaga.
Sebelum pasangan suami isteri diteguhkan dalam ikatan pernikahan, terlebih dahulu gereja sudah harus menamamkan prinsip Alkitab dalam rencana pernikahan mereka. Itulah sebabnya ada semacam katekisasi atau konseling pra-nikah. Di gereja tertentu malah dilengkapi dengan pemeriksaan medis. Konseling pra-nikah dimaksudkna agar seandainya kalau pasangan tersebut memang tidak cocok, mereka diberikan kesempatan untuk berpisah atau mencari pasangan yang lain sebelum diberkati. Dengan demikian mereka tidak akan mengalami penderitaan dalam pernikahan mereka yang membawa kepada perceraian.
Gereja harus bersikap tidak mengenal adanya perceraian, dan ini harus konsisten. Sering terjadi misalnya di gereja si A tidak diijinkan untuk diberkati karena kasus perceraian, namun orang tersebut pergi ke gereja B tidak masalah, bahkan pemberkatan bisa dilaksanakan di gereja tersebut. Dengan cara yang demikian jemaat itu merasa bingung akan pengajaran hamba Tuhan yang satu dengan yang lain, tidak sama. Walaupun sesungguhnya masalah boleh atau tidak boleh diberkati di gereja tidak menyangkut masalah keselamatan, tetapi biarlah wibawa gereja tetap dapat ditegakkan, karena kita hormati bahwa gereja adalah tempat yang kudus. Oleh sebab itu sanksi ini hendaknya dipertahankan, supaya setiap pasangan sungguh-sungguh menjaga keutuhan pernikahan mereka.
Jikalau memang ada masalah atau konflik dalam keluarga, hendaklah secepatnya diselesaikan dengan baik. Jangan terbawa berlarut-larut sehingga menumpuk seperti gunung es batu yang kokoh. Berusahalah sekuat mungkin menghindari perceraian, namun kejarlah perdamaian dengan pertolongan kasih sayang Allah kita. Kepada orang tua diharapkan supaya turut membantu memelihara keutuhan keluarga anda, masa depan anak-anak pasti terganggu dengan orang tuanya yang bercerai. Bagi yang belum menikah pikirkanlah secara matang untuk mengambil keputusan nikah. Jangan kita menelantarkan orang lain khususnya anak-anak yang tidak tahu-menahu akan persoalan orang tuanya. Sangat kasihan!
Beberapa tahun yang lalu di surat-surat kabar Indonesia dan majalah-majalah populer terlihat lagi trend membicarakan masalah perceraian, khususnya para artis kelas atas. Misalnya saja Desy Ratnasari yang baru menikah sudah masuk di dalam persidangan dan gugat cerai terhadap suaminya. Lalu muncul lagi penyanyi Renold Pangabean yang juga mau bercerai dengan istrinya, padahal isteri yang ini sudah merupakan istri yang kedua setelah yang pertama Camelia Malik.
Lalu ada lagi yang katanya ?pendeta gadungan? menyiksa dan memukul isterinya Nur Afni Oktavia, mereka cerai dan si ?pendeta gadungan? itu di masukkan dalam penjara. Masih banyak lagi berita-berita perceraian yang tentunya tidak dapat di pantau secara menyeluruh, itu artinya di dalam satu hari saja ada berapa ratus pasangan yang mau bercerai. Sementara itu yang ironis banyak pula pasangan yang sedang menjalin cinta dan siap dipersatukan di dalam pernikahan. Pernikahan seperti hal nya orang bermain gundu atau layangan
Sebenarnya, pada saat kedua insan yakni sang pria dan wanita menentukan pilihan untuk berpacaran, maka sudah seharusnya mereka memperhitungkan konsekuensi yang harus dihadapi. Dengan berpacaran itu berarti ia sudah mempersiapkan diri untuk menikah, sebab tidak mungkin orang berpacaran seperti bermain-main gundu atau layangan yang ada musimnya, lalu besok lusa putus dan ganti yang baru lagi. Di luar sana orang-orang akan menertawai dan mengenyek kita dengan menyebutnya "piala bergilir" bagi wanita atau "play boy" bagi yang pria.
Dengan adanya konsekuensi demikian maka mereka yang berpacaran adalah mereka yang sudah cukup umur atau dewasa, sudah bekerja atau mencari nafkah, jangan yang setiap mau keluar rumah masih minta uang pada orang tua, itu namanya "Cinta monyet". Ketika saya masih remaja saya pernah mendengar sebuah lagu pop sekuler yang berjudul "Cinta Monyet", isinya kira-kira demikian: "Malam Senin mulai bertemu, malam Selasa datang bertamu, malam Rabu terus merayu, malam Kamis Darling I Love you, malam Jumat terima surat yang isinya cinta ditolak, malam Sabtu sendiri lagi, malam Mingu mencari ganti." Orang yang sungguh-sungguh berpacaran tidak demikian, ia sudah mulai memikirkan masa depan dengan matang.
Jaman sekarang adalah jaman modern dan sekaligus jaman gila-gilaan, saya sering melihat anak-anak remaja yang masih Sekolah Menengah Pertama dengan berpakaian seragam sekolah sudah berpacaran. Lalu kalau ditanya kapan menikahnya, pada umumnya mereka tidak bisa menjawab, karena akan tunggu selesai kuliah, lalu kalau sudah selesai kuliah masih menunggu untuk mencari kerja dan sebagainya. Belum lagi karena labilnya kaum remaja maka di tengah jalan berpacaran sering kali berakhir dengan putus cinta hanya karena ada yang lebih tampan dan cantik atau yang lebih kaya, lalu merekapun stress dan frustrasi bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
Saya tidak tahu ketika kita menjalani abad 21 dan milenium baru ini, jangan kaget sebab sebentar lagi kita akan mendengar anak Sekolah Dasar juga sudah bisa berpacaran. Pernah dimuat di koran harian Surabaya seorang anak laki-laki di Amerika yang baru berusia 7 tahun menikah dengan anak wanita yang berumur 5 tahun. Bukankah dunia kita sudah penuh kebingungan. Umur 5 dan 7 tahun untuk mengurus diri sendiri saja belum tentu bisa, apalagi mengurus orang lain.
Kita semua adalah orang-orang yang berdosa; banyak daftar dosa kita tentunya, selembar catatan tidak akan memuatnya. Jangankan selembar mungkin satu rim kertaspun tidak cukup untuk mencatat dosa-dosa kita. Kemudian rasul Paulus mengatakan, lihat1 Kor 6 :11 "Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan , kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita". Lalu timbul pertanyaan, apa hubungannya dengan Pernikahan maupun Perceraian. Apakah orang Kristen boleh bercerai? Mengapa? Lalu bagaimana jikalau sudah tidak akur lagi? Kata Yesus kepada mereka:
Kita harus insaf bahwa pernikahan sifatnya bukan sementara, artinya akan dibawa sampai mati. Orang yang percaya (Kristen) tentu senantiasa akan memegang prinsip Alkitab; satu Tuhan, satu Baptisan dan juga satu istri, kecuali karena kematian yang memisahkan. Ikatan pernikahan menunjuk kurun waktu selama manusia atau pasangan itu masih hidup. Perceraian dapat dianggap terjadi ketika sepasang suami-istri memutuskan untuk tidak lagi memenuhi ikatan pernikahan mereka. Walaupun kalau kita perhatikan biasanya salah satu pihak yang memperakarsai perceraian itu; tetapi keduanya menanam andil tertentu sampai terjadi perpecahan itu.
Di dalam definisi lain, perceraian yaitu pemutusan ikatan nikah secara hukum, merupakan penyimpangan dari maksud Allah, tidak mendapat dukungan firman Tuhan kecuali dalam batas-batas kondisi tertentu. Perceraian adalah akibat dosa dari salah satu atau dua pihak pasangan suami-istri. Sering kedua pihak itu mempunyai kesalahannya masing-masing, kesombongan dan mementingkan diri sendiri sering menambah andil pada keadaan mendorong terjadinya perceraian.
Tatkala berbicara tentang perceraian maka Yesus mengatakan bahwa Musa mengizinkan perceraian , itu semata-mata karena "ketegaran hatimu", atau karena "tegar tengkuknya" orang-orang Israel (lih Mat 19:8). Musa tahu bahwa perceraian itu jahat, tetapi apa boleh buat. Kemudian muncul pertanyaan lagi apakah dengan demikian Tuhan Yesus menolak perceraian itu sama sekali?
Sebenarnya Alkitab secara tegas menolak akan perceraian, apapun alasannya. Perhatikan dan baca Kej 2:24, lalu juga 1 Kor 7:10 bandingkan juga dengan Mal 3:15,16. Dan bahkan rasul Pauluspun tahu bahwa adalah lebih baik kalau seseorang itu "tidak kawin" 1 Kor 7:1, tetapi karena mengingat bahaya percabulan, atau godaan-godaan seksual maka "lebih baik kawin", supaya sah dan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Perhatikan ayat 6 rasul Paulus katakan ini semua sebagai suatu kelonggaran.
Perceraian diijinkan pada batas kondisi sebagai berikut, biasanya pada tahap apa boleh buat, yakni:
1. Bila teman hidup melakukan pelanggaran seks seperti perzinahan atau homoseks (Lesbian), dan tidak berniat untuk bertobat atau mencari pengampunan Allah, atau meninggalkan dosa untuk kembali setia kepada istri maupun suaminya.
2. Bila salah satu meninggalkan pasangannya, khususnya bila pasangan tidak beriman yang meninggalkan pasangannya yang percaya (lihat 1 Korintus 7:15).
3. Kasus khusus yakni mati, itu berarti pasangan tersebut tercerai secara otomatis. Kasus yang ini tentu di luar jangkauan manusia.
Jikalau sebelum menerima Kristus, seseorang telah menikah dan kemudian bercerai, dia harus tetap pada keadaannya itu. Jika seseorang sempat menikah ulang, dia harus berupaya agar perkawinannya kedua berhasil. Meninggalkan pasangan kedua untuk kembali kepada pasangan yang pertama, adalah salah. Dua kesalahan tidak menghasilkan kebenaran. Gereja biasanya tidak melayani pemberkatan nikah kedua, artinya sebelum salah satu pasang meninggal dunia gereja tidak akan memberkati pasangan yang pernah bercerai untuk menikah; sebab ini merupakan pelanggaran janji setianya dihadapan Allah (bandingkan dengan 1 Korintus 7:39).
Berpasangan dengan orang yang bukan Kristen, bukanlah alasan untuk bercerai. Sebaliknya, yang Kristen dianjurkan untuk hidup berdamai dengan pasangannya yang bukan Kristen, ia harus menjadi teladan supaya memenangkan pasangannya ke dalam iman pada Kristus ( 1 Kor 7:12-16). Di gereja banyak kaum wanita yang bersaksi bagaimana suaminya boleh percaya pada Yesus dan memperoleh keselamatannya ketika mereka sudah menikah puluhan tahun. Tuhan Yesus sedang menguji kesabaran dan ketekunan kita. Bagi orang-orang yang beriman lemah, Tuhan Yesus tahu itu dan kemungkinan besar mempercepat pasangannya percaya Yesus.
Namun, bagi yang pasangannya sudah cukup lama, namun masih belum menerima Tuhan Yesus, mungkin anda adalah orang yang mempunyai iman yang kuat dan Tuhan sedang mengujinya. Sesekali jangan mengartikan dengan Tuhan tidak mengasihi anda atau meninggalkan keluarga anda kareana hal ini , sebab cara ini akan memperlemah iman kepercayaan anda. Sesuatu yang sangat perlu kita perhatikan adalah, orang menerima Tuhan Yesus itu tidak bisa dengan paksaan, semua itu harus melalui pengalaman pribadinya pada Tuhan dan sifatnya suka-rela dan bertahap.
Sebab-sebab sebuah Perceraian:
Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Dalam janji nikah yang diucapkan dihadapan Allah, mereka harus sehidup-semati, baik kaya maupun miskin, baik sehat maupun sakit, baik senang maupun susah dan sebagainya. Namun kenyataannya di dunia masih ada pasangan yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering menyebabkan suatu perceraian antara lain:
1. Alasan Ekonomi
Bukankah ketika pendeta memberkati pernikahan di gereja sudah diadakan perjanjian bahkan seperti sumpah setia bahwa kedua mempelai itu akan setia sampai mati, baik dikala kaya atau miskin, sehat ataupun sakit? Namun kenyataannya ada banyak pasangan yang menganggap janji di atas hanya sekadar janji biasa, padahal mereka sedang berjanji dihadapan Tuhan. Tidak jarang jarang kita melihat hanya masalah uang, perceraian itupun terjadi. Apakah pernikahan itu hanya karena uang?
Memang kadang kala ada pria yang kelewatan, sering kita dengar para wanita mengeluh sebab suaminya tidak mau bekerja, mabuk-mabukan lalu (maaf) main perempuan lagi. Bagaimana pernikahan kami bisa bertahan, anak-anak butuh kasih-sayang, susu dan makanan, uang sekolah dan sebagainya. kita mengalami kesulitan memaksa kelurga yang demikian supaya bersatu, tetapi sebagai orang percaya kita harus yakin bahwa Tuhan sanggup mengubah seseorang, maka tidak salahnya apabila kita mendoakan mereka; bukan menyarankan supaya bercerai.
Sebaliknya, mungkin Tuhan memberkati dengan limpah, lalu keluarga itu menjadi kaya raya. Sang suami atau istri mulai sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Akhirnya juga bisa terjadi perceraian karena perhatian semua dicurahakan kepada mencari uang. Itulah sebabnya ada orang yang berpendapat "Biarlah miskin tetapi keluarga bahagia", namun bukankah alangkah baiknya pendapat ini boleh diubah "biarlah kaya tetapi keluarga tetap bahagia juga".
2. Alasan Berselingkuh
Perselingkuhan sering terjadi mungkin karena kurangnya perhatian dari pasangan kita, karena perpisahan yang cukup lama satu dengan yang lain, dengan sekretaris atau orang sekantor dan sebagainya.. Biasanya karena sering terjadi komunikasi, baik secara langsung atau melalui telepon atau surat-menyurat. Sebagai orang percaya seharusnya hal ini tidak perlu terjadi apabila kita memberi batasan terlebih dahulu, misalnya kita harus sadar bahwa "kita sudah menikah", lain halnya apabila masih berpacaran, masih banyak pilihan.
Tetapi apabila seseorang sudah menikah maka jangan sesekali memberi kesempatan seperti itu. Demikian juga kita perlu jaga jarak terhadap wanita atau pria yang sudah menikah. Kadang kala dengan cerita penuh humor, perhatian yang terlalu mendalam, memberi hadiah dan sebagainya bisa membuat seseorang salah pengertian. Penjagaan ini tujuannya supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Sebab apabila terlanjur "cinta" maka sangat sakit dan sulit untuk dipisahkan.
3. Masalah tidak akur, bertengkar terus
Sebenarnya pertengkaran atau cekcok itu wajar dalam suatu pernikahan, ada orang yang mengatakan itulah "pelangi" atau "keindahan" sebuah pernikahan. Yang penting adalah sebuah pertengkaran itu jangan lari dari masalah pokok yang terjadi. Sering kali yang terjadi di dalam pertengkaran itu tidak kunjung habis, karena masing-masing mengorek-ngorek kesalahan masa lalu. Mungkin kejadiaanya sudah lima atau sepuluh tahun yang lalu, tetapi diungkitkan lagi, padahal persoalannya dimulai dengan hal yang kecil, misalnya lupa mengunci pintu rumah, ketemu mantan pacar di gereja dan sebagainya.
Yang paling penting diperhatikan di dalam pertengkaran itu adalah hendaknya kita mempunyai prinsip bahwa kejadian itu harus selesai sebelum matahari terbenam, sesuai dengan prinsip Alkitab. Jangan pernah terucap kata "minta cerai" tehadap pasangannya, karena ini sangat menyakitkan, apalagi sampai yang wanita membawa koper kembali ke rumah orang tua. Syukur kalau sang suami mau jemput pulang, kalau sama-sama gengsinya dan tidak pernah di jemput, sementara sang wanita tidak berani pulang, maka akan timbul perceraian.
Seorang teman saya baru-baru ini pernah menceritakan tentang keluarganya, beliau pertama menikah sering sekali bertengkar, karena selain pacarannya secara kilat dan ia menemukan banyak perbedaan di antara mereka berdua. Namun ia harus belajar tahan menghadapi kenyataan hidup ini. Sekarang anak mereka sudah dua dan hidup bahagia.
4. Masalah Penyiksaan
Masalah penyiksaan ini sering juga terungkap terhadap beberapa pasangan pernikahan yang pada mulanya di luar dugaan mereka. Ada yang karena kelainan seks sehingga ia akan merasa terangsang apabila degan menyakiti pasangannya, bila perlu sampai tubuhnya terluka-luka. Ada yang sering memukul pasangannya apabila terjadi pertengkaran dan tidak jarang mengluarkan benda-benda tajam untuk mengancam pasangannya. Nah kalau ini terus-menerus terjadi bagaimana keluarga ini dapat bertahan? Wajarnya memang keadaan seperti ini tidak boleh terjadi terhadap pasangan suami-istri, tetapi kenyataannya ada keluarga yang menghadapi demikian.
Saya pernah menemukan seorang wanita yang sering dipukul oleh suami pada waktu muda, sekarang ia seperti orang gila karena stress. Ia berusaha menahan, sabar, tetap mau bersatu, namun orang-orang tidak mengerti dia, dan akhirnya ia seperti hampir gila. Bagi yang tidak tahan maka, ia akan mengambil langkah terakhir yakni perceraian. Seandainya perceraian merupakan alternatif terakhir, maka sebagai konsekwensinya ia harus tetap membujang ( lihat 1 Korintus 7:10-11 dan Matius 19:9).
Seorang ahli psikologi menyarankan bahwa kalau anda sampai menemukan pasangan yang demikian, hendaknya tindakan yang diambil pertama kali bukan bercerai, namun bagaimana mengobati penyakit ini. Mungkin caranya harus berpisah untuk "sementara waktu" atau bagaimana; namun disarankan hendaknya dikonsultasikan dengan para ahli.
5. Masalah penyakit / cacat tubuh
Sebenarnya masalah sakit penyakit bukan merupakan alasan bagi sesorang untuk bercerai. Ada banyak pasangan yang penuh kesabaran merawat sang suami atau istri yang karena sesuatu penyakit harus berbaring cukup lama di tempat tidur bahkan samapi akhir riwayat hidupnya. Di sinilah letak kesetiaan seseorang terhadap pasangannya diuji. Sesuai dengan janji pernikahkan maka sakit penyakit bahkan sampai cacat bukan merupakan alasan seseorang untuk bercerai. Sebabbagi orang percaya kita harus menerima kenyataan ini, walaupun pahit seperti empedu. Berdoalah minta kekeuatan dari Tuhan, supaya ada kekuatan mengahadapi persoalan-persoalan yang sukar.
6. Perbedaan Agama
Memang tidak semua pasangan sampai bercerai karena masalah perbedaan agama. Banyak pasangan justru bisa membawa pasangannya kepada Kristus. Tetapi kita tidak menutup kenyataan ada pasangan tertentu yang mengalami kesulitan akibat perbedaan agama. Terutama mereka yang sebagai istri, sebelum menikah masih ada kelonggaran boleh ikut kebaktian maupun pelayanan, tetapi setelah menikah mulailah dibatasi, sampai akhirnya hadir ke kebaktianpun tidak boleh. Inilah yang bisa menyebabkan pasangan suami-isteri itububar.
Oleh sebab itu sesuai dengan petunjuk firman Tuhan, maka idealnya setiap anak Tuhan harus memilih pasangannya yang juga percaya kepada Tuhan Yesus, walaupun tidak menjamin tidak adanya perceraian. Namun apabila sudah terlanjur menikah, cobalah kita berdoa buat pasangan kita ini; sambil tetap bertahan terhadap iman kepercayaan kita. Jadilah teladan melalui hidup kita sehari-hari, sebab dengan cara demikian kita akan bersaksi secara tidak langsung.
Resiko Sebuah Perceraian
1. Khususnya bagi anak-anak mereka, kemungkinan besar menjadi terlantar. Mengapa tidak? Sebab ketika ayah dan ibu mereka kawin lagi dengan orang lain, maka mereka telah memperoleh apa yang disebut ayah atau ibu tiri. Sebaik-baiknya ayah atau ibu tiri pasti beda dengan yang kandung. Memang ada yang baik sekali, tetapi tidak 100% bukan? Apalagi pada saat mereka menikah, pasanagan yang lain masih hidup. Pertengkaran selalu cenderung terjadi, terutama terhadap pasangannya yang lama; dan hal ini sanagt menyusahkan anak-anak. Mereka akan menjadi malau, rendah diri dan sebagainya.
2. Perceraian menimbulkan suatu luka yang tidak mungkin disembuhkan. Ini diibaratkan dengan cinta yang terkoyak-koyak, sangat sulit untuk dilekatkan kembali. Pasti ada bekasnya, dan beklasnya itu selain tidak enak dipandang juga rasanya sakit sekali.
Menimbang Resiko yang Bakal Terjadi:
1. Senang atau tidak senangkah Allah? Jelas Allah tidak pernah senang akan perceraian, sebab di didalam Alkitab tertulis apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.
2. Membawa pengaruh buruk bagi orang lain, anak-anak, orang tua sanak keluarga. Secara psikologi perkembangan anak sangat terpengaruh, apalagi para tetangga yang suka gosip ditambah dengan teman-teman sekolah yang suka mengejek, hal ini pasti sangat mengganggu mereka. Anak-anak akan merasa tertekan, kurangnya kasih sayang dan akhirnya cenderung mereaka berontak untuk mencari perhatian dan menjadi brutal. Tidak jarang mereka yang terjerumus di dalam Narkoba ini adalah anak-anaka yang keluarganya bermasalah.
3. Sungguhkah ini menyelesaikan masalah atau justru menciptakan masalah baru. Perceraian pasti menimbulkan masalah baru, karena kasih sayang yang semula utuh sekarang retak. Belum lagi ditambah dengan penderitaan yang bakal dialami oleh anak-anak. Mereka merasa rendah diri, takut diejek teman, malau pada guru, tetangga serta handai-taulan, sebab peristiwa orang tuanya selalu diungkit kembali tatkala mereka berada dilingkungan yang mengenalnya. Mungkin tidak secara langsung, tetapi biasanya dengan berbisik orang-orang sekitar akan membicarakan masalah perceraian orang tua mereka itu. Inilah maslaha baru yang senantiasa dihadapi anak-anak yang orang tuanya bercerai.
4. Perceraian adalah suatu pengalaman emosional buruk yang membekas sangat dalam. Perceraian membuat retak sebuah kasih yang sudah terjalain, di situ ada sakit hati, dendam, benci, kemarahan dan sebagiainya, dan semua itu mebekasa sanagt mendalam serta tidak mungkin terlupakan. Mungkin bagi mereka yang bercerai mengatakan bahwa pa yang sudah terjadi telah dilupakan, namun sesungguhnya mereka terus menerus mengingatnya, kesedihan, penyesalan tidak pernah terhenti. Bagaimana Mencegah sebuah Perceraian
1. Mulai mencari jalan keluar dengan penuh rendah hati, dan mengampuni (lih Mat 18:21,22) Dalam hal mengampuni ini tidak gampang, apalagi didapati pasangan suami istri itu terdapat perselingkuhan. Adanya orang ke tiga, yang biasanya disebut WIL atau PIL ( Wanita/Pria Idaman Lain).
2. Mengalah berapa lama? Apa batasnya? Seandainya di dalam keluarga terjadi pertengkaran, salah satu pasang harus berusaha mengalah untuk meredahkan emosi yang lebih memuncak lagi. Apabila keduanya saling ngotot tidak mau mengalah, maka resiko untuk mencapai perceraian sangat terbuka. Sebab di saat emosi sesorang akan mengambil keputusan-keputusan yang tidak rasionil dan sering kalai menyakiti hati orang lain.. Menurut pengajaran Tuhan Yesus, setiap orang yang percaya diminta mengalah dan itu tanpa batas.
Bagaimana Sikap orang percaya dan Gereja terhadap Perceraian?
Saya melihat godaan dan cobaan sangat besar terutama bagi anda yang tinggal di Amerika, suami sibuk dengan pekerjaan, demikian juga isteri dengan pekerjaannya sendiri. Kadang suami kerjanya pada malam hari, sang isteri bekerja pada siang hari. Secara otomatis kalau suami dan isteri jarang sekali bertemu. Pergaulannya hanya sekitar rekan-rekan di pekerjaan, bagaimanapun karena banyaknya waktu bertemu rekan kerja, apalagi yang lawan jenis ; maka tidak tertutup kemungkinan godaan dan cobaan itu terjadi. Tiba-tiba saja ada berita , suamiku diserobot oleh isteri tetangga, atau sebaliknya. Itu sebabnya, sebagai anak Tuhan kita perlu waspada dan berjaga-jaga.
Sebelum pasangan suami isteri diteguhkan dalam ikatan pernikahan, terlebih dahulu gereja sudah harus menamamkan prinsip Alkitab dalam rencana pernikahan mereka. Itulah sebabnya ada semacam katekisasi atau konseling pra-nikah. Di gereja tertentu malah dilengkapi dengan pemeriksaan medis. Konseling pra-nikah dimaksudkna agar seandainya kalau pasangan tersebut memang tidak cocok, mereka diberikan kesempatan untuk berpisah atau mencari pasangan yang lain sebelum diberkati. Dengan demikian mereka tidak akan mengalami penderitaan dalam pernikahan mereka yang membawa kepada perceraian.
Gereja harus bersikap tidak mengenal adanya perceraian, dan ini harus konsisten. Sering terjadi misalnya di gereja si A tidak diijinkan untuk diberkati karena kasus perceraian, namun orang tersebut pergi ke gereja B tidak masalah, bahkan pemberkatan bisa dilaksanakan di gereja tersebut. Dengan cara yang demikian jemaat itu merasa bingung akan pengajaran hamba Tuhan yang satu dengan yang lain, tidak sama. Walaupun sesungguhnya masalah boleh atau tidak boleh diberkati di gereja tidak menyangkut masalah keselamatan, tetapi biarlah wibawa gereja tetap dapat ditegakkan, karena kita hormati bahwa gereja adalah tempat yang kudus. Oleh sebab itu sanksi ini hendaknya dipertahankan, supaya setiap pasangan sungguh-sungguh menjaga keutuhan pernikahan mereka.
Jikalau memang ada masalah atau konflik dalam keluarga, hendaklah secepatnya diselesaikan dengan baik. Jangan terbawa berlarut-larut sehingga menumpuk seperti gunung es batu yang kokoh. Berusahalah sekuat mungkin menghindari perceraian, namun kejarlah perdamaian dengan pertolongan kasih sayang Allah kita. Kepada orang tua diharapkan supaya turut membantu memelihara keutuhan keluarga anda, masa depan anak-anak pasti terganggu dengan orang tuanya yang bercerai. Bagi yang belum menikah pikirkanlah secara matang untuk mengambil keputusan nikah. Jangan kita menelantarkan orang lain khususnya anak-anak yang tidak tahu-menahu akan persoalan orang tuanya. Sangat kasihan!
Subscribe to:
Posts (Atom)